Siapa sih yang ngga suka makanan manis? Bagi sebagian orang, rasa manis bukan cuma soal lidah tapi juga soal hati. Termasuk buat Nadira, seorang perempuan berusia 21 tahun yang bekerja penuh waktu dan punya satu makanan favorit yang sudah menemaninya sejak kecil: donat.
Bukan tanpa alasan donat jadi makanan kesukaannya. Katanya, dulu neneknya sering bikin donat di rumah. Dari situlah muncul ikatan emosional yang kuat. Setiap kali makan donat, bukan cuma rasa kenyang yang datang, tapi juga rasa senang dan hangat seolah kembali ke masa kecil yang penuh kenangan manis. Sampai sekarang, kalau ada, donat bisa dimakannya setiap hari.
Tapi seiring bertambahnya usia dan makin banyak informasi soal kesehatan, Nadira mulai sadar, rasa manis dari donat bukan cuma memberi kebahagiaan, tapi juga risiko. Ia pernah berpikir soal dampak jangka panjang dari makanan favoritnya ini. Terutama soal diabetes, apalagi karena dia juga suka minuman manis. Tapi meski sudah coba ganti dengan makanan yang lebih sehat, rasanya tetap “ngga cocok, Aneh" katanya. Mungkin karena belum terbiasa, atau karena makanan sehat ngga punya kenangan sehangat donat buatan nenek.
Kalau ditanya, Nadira memilih kesehatan jangka panjang ketimbang makanan favoritnya. Tapi realitanya, meninggalkan kebiasaan makan manis itu ngga mudah. Sudah coba berhenti, tapi balik lagi. Sudah coba kurangi, tapi kadang susah kontrol, apalagi kalau sedang capek atau stres. Saat itulah makanan manis jadi pelarian yang paling mudah dicari.
Dari obrolan ini, muncul pertanyaan yang lebih besar, seberapa besar sih dampak makanan manis kayak donat ini ke tubuh kita?
Ketika Rasa Manis Mengusik Keseimbangan Hormon
Makanan manis bisa bikin hati senang, tapi juga bisa mengganggu kerja hormon di tubuh. Gula dalam jumlah besar memicu lonjakan insulin, hormon yang bertugas menurunkan kadar gula darah. Kalau sering terjadi, tubuh bisa jadi resisten terhadap insulin, yang artinya hormon itu jadi kurang efektif. Ini salah satu pintu masuk menuju diabetes.
Selain insulin, hormon stres seperti kortisol juga ikut terlibat. Banyak orang, termasuk Nadira, mengaku lebih cenderung mencari makanan manis saat sedang lelah atau tertekan. Ini semacam coping mechanism, walau dalam jangka panjang justru bisa memperburuk kondisi hormonal.
Ancaman Diam-Diam ke Ginjal
Ngga banyak yang sadar, tapi gula berlebih juga bisa merusak ginjal. Kalau kadar gula darah terus tinggi, pembuluh darah kecil di ginjal bisa rusak dan mengganggu fungsinya dalam menyaring racun dari darah. Dalam jangka panjang, ini bisa menyebabkan penurunan fungsi ginjal, bahkan berujung pada gagal ginjal.
Memang, sejauh ini Nadira belum merasakan efek negatif langsung dari kebiasaan makan manisnya. Tapi kesadaran itu sudah ada. Ia tahu bahwa kalau pola makan ini terus dibiarkan, tubuh bisa “protes” kapan saja.
Refleksi: Antara Kenikmatan dan Kesadaran
Kebiasaan makan bukan cuma soal pilihan rasional, tapi juga soal kebiasaan, emosi, dan bahkan memori masa lalu. Donat, bagi Nadira, bukan cuma makanan. Ia adalah simbol kebersamaan dengan nenek, kenyamanan di masa kecil, dan pelarian dari stres masa kini. Tapi seperti kata pepatah, semua yang manis-manis bisa saja membawa pahit di ujungnya.
Kesadaran untuk menjaga pola makan sehat adalah langkah awal yang penting. Nadira sudah mulai mencoba menyeimbangkan antara makanan favorit dan makanan sehat, meski belum sepenuhnya berhasil. Yang jelas, ia sadar bahwa tubuh butuh dijaga. Karena kalau bukan kita yang mulai, siapa lagi?
Dari cerita ini, kita bisa belajar bahwa menjaga kesehatan bukan berarti harus langsung meninggalkan semua hal yang kita suka. Tapi perlahan, dengan kesadaran, kita bisa mulai mengatur porsi, memilih dengan lebih bijak, dan mencari keseimbangan. Karena di balik kenikmatan sesaat, ada tanggung jawab jangka panjang yang menanti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI