Mohon tunggu...
maulidahayuningtyas
maulidahayuningtyas Mohon Tunggu... dokter umum

healthy food education

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Mukbang Sebagai Budaya Baru, Yay or Nay?

18 Maret 2025   11:20 Diperbarui: 18 Maret 2025   10:17 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foodie. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mukbang Sebagai Budaya Baru, Yay Or Nay?

Mukbang, fenomena yang berasal dari Korea Selatan, kini telah menjadi tren global di berbagai platform media sosial. Mukbang adalah istilah dari Korea Selatan yang berasal dari gabungan kata "Meokda" (먹다) yang berarti "makan" dan "Bangsong" (방송) yang berarti "siaran" atau "broadcast". Secara harfiah, mukbang berarti "siaran makan", yaitu konten video di mana seseorang (dikenal sebagai mukbanger) mengonsumsi makanan dalam jumlah besar sambil berinteraksi dengan penonton secara langsung atau melalui rekaman. Tren ini populer di berbagai platform seperti YouTube, TikTok, dan AfreecaTV.

Mukbang awalnya bertujuan sebagai hiburan bagi individu yang makan sendirian, memberikan pengalaman makan secara virtual dengan para penonton. Namun, seiring popularitasnya yang meningkat, tren ini mulai menimbulkan kekhawatiran di kalangan ahli gizi dan kesehatan. Awalnya mukbang hanya sebatas membuat video makan saja, akan tetapi seiring banyaknya konten kreator mukbang lain maka timbul ide untuk membuat kegiatan mukbang nampak berbeda dari yang lain. Seperti contoh, mukbang makanan dalam jumlah besar, memakan makanan yang tidak biasa, seperti makan bisa ular, makan binatang yang masih hidup, dan fenomena “Ha Hu Ho Heng”. Beberapa pembuat konten memanfaatkan mukbang sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan finansial dengan cara yang kontroversial, seperti menerima donasi dari penonton untuk mengonsumsi makanan dalam jumlah yang tidak wajar. Tingginya pengaruh mukbang terhadap pola makan masyarakat memunculkan pertanyaan: Apakah fenomena ini layak diterima sebagai budaya baru?

Pada sisi penonton, mukbang memberikan manfaat sosial bagi mereka yang merasa kesepian saat makan, sebagai contoh mahasiswa yang sedang tinggal sendiri di kos dan tidak memiliki teman makan, maka akan lebih terasa nyaman apabila disertai dengan “nonton mukbang”. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang tinggal sendiri cenderung mencari pengalaman sosial melalui tontonan mukbang. Fenomena ini memberikan rasa kebersamaan virtual, di mana penonton dapat menikmati makanan bersama dengan kreator konten. Selain itu, mukbang juga menjadi sarana bagi industri kuliner untuk mempromosikan produk makanan mereka. Banyak restoran dan merek makanan bekerja sama dengan para mukbangers untuk meningkatkan penjualan dan eksposur produk mereka di media sosial.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa menonton mukbang dapat mempengaruhi perilaku makan seseorang, baik secara positif maupun negatif. Salah satu dampak negatif baik bagi konten kreator atau penonton adalah perilaku makan yang tidak sehat sehingga memicu beberapa penyakit, seperti obesitas, kolestrol, diabetes melitus, dan penyakit jantung. Hal tersebut dikarenakan bahwa individu yang sering menonton mukbang lebih cenderung mengonsumsi makanan tinggi kalori, seperti makanan cepat saji dan camilan manis. Selain itu, mukbang juga dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit tidak menular di kalangan remaja dan anak-anak dikarenakan mudah terpengaruh oleh pola makan tidak sehat pada tontonan mukbang. Seorang konten kreator mukbang di Cina dilaporkan meninggal dunia pada saat live mukbang di tiktok. Kematianya disebabkan karena adanya kerusakan pada organ pencernaan, sebagai akobat dari terlalu berlebihan dalam konsumsi makanan.

Solusi dari dampak negatif mukbang, seperti obesitas dapat dilakukan melalui pendekatan aktivitas fisik yang terstruktur, seperti latihan aerobik dan latihan ketahanan. Berdasarkan rekomendasi dari European Association for the Study of Obesity, latihan aerobik dengan intensitas sedang selama 150 hingga 200 menit per minggu dapat membantu mengurangi berat badan dan lemak tubuh secara signifikan, sedangkan latihan ketahanan dapat mempertahankan massa otot selama proses penurunan berat badan. Selain itu, latihan fisik juga berkontribusi pada peningkatan kontrol nafsu makan dan perilaku makan, yang dapat membantu individu yang sering melakukan mukbang untuk mengontrol asupan kalori secara lebih efektif. Oleh karena itu, integrasi pola makan seimbang dengan latihan fisik yang direkomendasikan dapat menjadi strategi yang efektif dalam mengurangi dampak mukbang terhadap obesitas. Pemerintah di beberapa negara, seperti Cina, mulai memberikan peringatan terhadap kreator mukbang yang mempromosikan konsumsi makanan dalam jumlah berlebihan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dari tontonan ini terhadap pola makan masyarakat. Beberapa platform media sosial juga telah memberlakukan aturan yang lebih ketat terhadap konten mukbang yang dianggap ekstrem. Regulasi ini diharapkan dapat membantu mengurangi dampak negatif mukbang tanpa sepenuhnya menghapus fenomena ini.

Adanya pro dan kontra yang ada, apakah mukbang layak dianggap sebagai budaya baru yang positif? Jawabannya tergantung pada bagaimana tren ini dikontrol dan diadaptasi oleh masyarakat. Jika mukbang dapat menjadi sarana edukasi tentang makanan sehat, pengalaman kuliner, atau sekadar hiburan yang tidak berlebihan, maka fenomena ini dapat diterima secara positif. Namun, jika mukbang terus berkembang tanpa regulasi yang tepat, dampak buruknya terhadap kesehatan masyarakat bisa lebih besar daripada manfaatnya. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran baik dari kreator konten maupun penonton untuk menjadikan mukbang sebagai budaya yang lebih sehat dan bertanggung jawab.

Source :

  1. Ju, S.B. (2022) ‘An Analysis of the Relationship Between Body Composition and Watching Korea’s One Person Muk-Bang (Binge Eating Show) on the Internet’, Iranian Journal of Public Health, 51(12), pp. 2831-2832. Available at: http://ijph.tums.ac.ir.
  2. Sung, J., Hong, J-Y., Kim, J., Jung, J., Choi, S., Kang, J.Y. and Han, M.A. (2024) ‘Mukbang and Cookbang watching and dietary behavior in Korean adolescents’, Nutrition Research and Practice, 18(4), pp. 523-533. Available at: https://doi.org/10.4162/nrp.2024.18.4.523.
  3. Jiang, N., Khong, K.W., Chen, M., Khoo, K.L., Xavier, J.A. and Jambulingam, M. (2024) ‘Why am I obsessed with viewing mukbang ASMR? The roles of mediated voyeurism and intertemporal choice’, PLOS ONE, 19(9), e0308549. Available at: https://doi.org/10.1371/journal.pone.0308549 .

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun