Mohon tunggu...
simaulss
simaulss Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat Lintas Ruang

Bercakap, Berjabat, Beramal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pancasilaku, Pancasilamu

8 Juni 2019   20:19 Diperbarui: 24 November 2020   16:02 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu SMA, guru PKN Saya, Pak Ghofar namanya, berujar di kelas "Saya usulkan Pancasila itu cukup satu sila aja, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalau orang sudah bertuhan, keempat sila lainnya itu ngikut". Orang2 akan humanis, bersaudara, bermufakat, dan adil. Begitulah imajinasinya menghentak daya pikir sekelas tunas bangsa.


Mengapa kita mesti perhatian kepada Pancasila? Apa pentingnya? Atau mengapa perlu sibuk mengurusnya? Jawaban paling sering terlontar, karena ia ideologi negara. Pancasila itu pondasi bernegara yang ujungnya cita-cita negara Indonesia. Apa itu cita-cita negara?  Negara kita dicetuskan mempunyai tujuan yang ingin diwujudkan, tercantum dalam pembukaan UUD '45: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Maka, Pancasila ditempatkan sebagai perumus tujuan mulia itu.  Jawaban lain yg bisa disuguhkan, bahwa Pancasila itu kepribadian, karakter, ciri khas, identitas, dan jati diri bangsa Indonesia yg mengkristal, melewati proses sejarah amat panjang, termasuk juga di dalamnya hasil perpaduan budaya global dan lokal. Kalau kita sulit mendefinisikan negara Indonesia, cukup baca berulang kelima silanya. Kita akan dikenal, ketika ciri kita melekat, dan Pancasila adalah ciri itu. Jadi, Pancasila itu posisinya paling inti atau utama bagi negara tersayang ini. Karena vitalnya kedudukan Pancasila ini, sepatutnya pula kita concern.


Sebagai unsur paling dasar, Pancasila menentukan blueprint pembangunan negara. Dari Pancasila, akan lahir peraturan2  yang mengatur keperluan ratusan juta manusia Indonesia.  Kita mengenal UUD '45, Undang-undang, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, Peraturan daerah, kesemuanya itu adalah turunan Pancasila. Negara kita mau rumuskan undang-undang mutlak berlandaskan kepada Pancasila. Peraturan2 yang muncul harus sesuai dengan Pancasila. Setidaknya ini ditopang dgn Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yg menegaskan Pancasila menjiwai UUD '45
Persoalan maha penting yang harus diajukan, siapa yang berhak dan berani menafsirkan masing2 sila itu? Ketuhanan YME, apa maksud Yang Maha Esa? Kemanusiaan adil-beradab, beradab versi timur atau barat? Permusyawaratan-perwakilan, perwakilan elite apa rakyat? Sebab pemaknaan ini akan berakibat langsung pada lahirnya sejumlah aturan.


Orde Lama pernah meleburkan Pancasila lewat Nasakomnya, hasilnya, dijauhi rakyat pada '65. Orde baru jg sama, lewat Asas tunggal Pancasilanya, kejengkelan memuncak pada Mei '98. Tahun 2017 ada empat hal yang dihasilkan pemerintah Jokowi-JK berkaitan Pancasila: pembentukan UKP BPIP, Penerbitan Perpu Ormas, libur nasional 1 Juni, dan pekan Pancasila (CRCS, 2018). Apakah pemerintah ini mengikuti jejak Orla dan Orba? Menarik ditunggu.


Pasca reformasi, pergulatan tafsir atas Pancasila terus terjadi. Rebutan itu, secara umum, mengerucut di antara kalangan Islam nasionalis dengan nasionalis sekuler. Tentu, kalangan pertama memperjuangkan hadirnya peraturan2 semisal perda2 Syariah, berpatok pada syariat Islam. Mereka berpandangan, bahwa segala hal yang berkaitan dengan syiar Islam adalah legal dan konstitusional. Bagi mereka, Pancasila adalah keistimewaan umat Islam untuk Indonesia. Ini didorong kuat konsep liberasi atas kolonialisme, di samping juga mengingat empat tokoh Islam ada dalam Panitia Sembilan, sembilan orang perumus susunan Pancasila. Karena itu, agak keliru jika menuding narasi, kegiatan, bernafaskan ke-Islaman kontradiktif dengan Pancasila. Hanya saja perlu disandingkan, narasi Islam yg berbingkai kebangsaan. Sampai sekarang, golongan ini terus mengkaji historitas Islam dan Pancasila agar peraturan yang lahir sejalur dengan syariat.


Tafsir kedua disajikan kalangan nasionalis sekuler. Asumsi mereka berintikan bahwa Pancasila adalah rajutan simpul lintas kalangan anak bangsa. Semua budaya yang ada di Indonesia, mestilah diatap-rumahkan sama. Tidak ada anak emas, tidak ada anak tiri. Meminjam Yudi Latief, Pancasila adalah titik temu, titik tumpu, dan titik tuju (Yudi, 2018). Realitas Indonesia yang majemuk, mesti dilihat sebagai kesatuan yg berasal dari semua anak bangsa, lintas SARA. Siapapun dan dimanapun, mereka punya hak yang sama. Karena itu, juga kurang tepat melihat Indonesia sebagai rumah seorang atau satu kelompok sendiri, sebagai satu2nya komponen pembangunan negara. Kalangan nasionalis sekuler memandang bahwa Pancasila itu mestilah secara bersama-sama, dari segenap latar sosial, dirawat dan diamalkan.



Dua pendapat di atas, jelas tarik menarik. Yang pertama melihat bahwa Pancasila adalah segaris dengan Islam, karenanya, peraturan yg dihasilkan harus sesuai syariat. Pendapat kedua menafsirkan, bahwa Pancasila adalah titik semua entitas, perekat sosial segala jenis kultur Indonesia, yg memiliki hak yg sama. Peraturan yg ada harus mengakomodir semua komponen. Tentu, kedua pendapat ini tidak mutlak. Ada santri, meminjam dikotomis Geertz, yg berpegang pada pendapat kedua.


Agaknya, pandangan Fokky Fuad relevan untuk situasi ini. Dia menilai bahwa Pnacasila dapat ditinjau dari dua sudut, ideologis dan filosofis (Fuad, 2018). Pada tataran ideologis, Pancasila adalah ideologi negara, hal yang mengakar dan menumbuhkembangkan negara. Pancasila mesti dicerna sebagai nyawa negara, ia harus ada dan tidak bisa tergantikan. Sementara tinjauan filosofis, menurutnya, menganalisis Pancasila sebagai formula yang dinamis. Pemaknaannya tidak berhenti pada satu penafsir. Ia harus terus dibiarkan ditafsirkan. Pancasila dari segi filosofis adalah sesuatu yang hidup, bergerak pendefinisiannya. Karena itu, baik ideologi yang ditampilkan golongan Islam nasionalis maupun filosofis yg diwakilkan golongan nasionalis sekuler tidak dapat disalahkan.Y

Yang mesti dikedepankan ialah Pancasila bukan milik satu golongan, yang dengannya dijadikan senjata membenamkan lawan-lawan politik. Pengklaiman2 "Saya Pancasila, Kalian fundentalis", begitu kata Rocky Gerung, mesti dihilangkan. Sebab, bunyi seperti itu justru semakin melebarkan jarak keakraban anak bangsa, semakin mengkotak-kotakkan. Keluarkan lah pernyataan-pernyataan afirmatif tentang keberpihakan, cita-cita, dan musuh yang sama. Patut pula diapresiasi pergantian twibbon pemerintah menyambut 1 Juni  "Saya Pancasila, Saya Indonesia" menjadi "Kita Pancasila, Kita Indonesia". Pada akhirnya Pancasila harus tetap dijadikan pegangan berbangsa dan bernegara. Seperti pesan Bung Karno, Pancasila adalah wadah semua untuk semua.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun