Pada sebuah hari penuh cita tanggal 5 Juli 2003, di sudut kehidupan yang mungkin tampak sederhana bagi sebagian orang, sebuah langkah kecil tapi bermakna besar diayunkan. KH. Yusuf Mansur, dengan segala keterbatasan dan semangat yang menyala-nyala, memulai dakwah yang kelak akan tumbuh menjadi gerakan besar: Daarul Qur'an. Berbekal cinta pada Al-Qur'an dan keyakinan bahwa mukjizat itu nyata, beliau melangkah bukan hanya untuk berdakwah, tapi untuk menghidupkan kembali semangat umat agar dekat dengan kalam Ilahi.
Perjalanan Daarul Qur'an bukanlah jalan yang datar dan lurus. Ia menempuh tanjakan terjal, tikungan curam, bahkan badai keraguan. Namun yang membuatnya tetap kokoh adalah akar yang dalam: visi membumikan Al-Qur'an dalam kehidupan umat. Dengan ketekunan yang sabar dan keikhlasan dalam perjuangan, satu demi satu anak-anak negeri mulai ditanamkan hafalan ayat demi ayat, bukan hanya di kepala, tapi hingga ke lubuk hati.
Dari satu sudut kecil kampung Ketapang Tangerang yang juga menjadi madrasah kecil dengan delapan santri, Daarul Qur'an mulai menggemakan kalimat suci. Bukan hanya membentuk para penghafal Qur'an, tetapi juga membangun karakter manusia beriman, pekerja keras, dan cinta negeri. Di titik inilah keindahan misi Daarul Qur'an bukan hanya menyentuh ruhani, tetapi juga menumbuhkan kemanusiaan. Di sinilah nilai Al-Qur'an menyapa semua: yang kaya dan papa, yang kota maupun desa.
Dalam 22 tahun, Daarul Qur'an tumbuh dengan begitu pesat: dari satu rumah menjadi puluhan pesantren, dari mimpi menjadi kenyataan. Di Indonesia hingga ke mancanegara, Daarul Qur'an tidak sekadar menjadi lembaga pendidikan, melainkan gerakan spiritual, sosial, dan peradaban. Ratusan ribu santri mengalir jariyah di dalamnya, membawa cahaya hafalan yang menenangkan dan menguatkan.
Tak bisa disangkal, salah satu kunci keberhasilan Daarul Qur'an adalah keberpihakannya pada yang lemah. Di tengah arus zaman yang seringkali keras, Daarul Qur'an hadir sebagai pelindung bagi anak-anak dhuafa, yatim piatu, dan keluarga tak mampu. Mereka tak hanya diberi pendidikan, tapi juga martabat, kesempatan, dan harapan. Di sinilah kemanusiaan bertemu spiritualitas dalam bentuk paling nyata.
Program-program seperti DaQu Method, Pesantren Tahfizh Gratis, Beasiswa Santri Penghafal Qur'an, hingga Rumah Tahfizh menjadi jembatan bagi setiap anak bangsa untuk bisa mencicipi manisnya kalamullah. Tak hanya di kota besar, Daarul Qur'an menjangkau kampung-kampung pelosok, bahkan hingga pulau-pulau terdepan. Setiap titik cahaya itu tumbuh menjadi mercusuar kebaikan.
Yang tak kalah mengagumkan adalah bagaimana Daarul Qur'an mengintegrasikan teknologi dan dakwah. Melalui platform digital, radio, hingga media sosial, ayat-ayat suci disampaikan dalam bahasa zaman. Dakwah tak lagi terbatas oleh tembok-tembok masjid, tapi masuk ke layar-layar ponsel, menembus batas geografis, dan menyapa umat di mana pun berada.
Sebagai lembaga, Daarul Qur'an juga menjawab tantangan zaman dengan profesionalisme. Manajemen pendidikan, sosial, dan pengembangan ekonomi dijalankan dengan akuntabilitas tinggi. Kolaborasi dengan berbagai pihak: pemerintah, dunia usaha, tokoh masyarakat, hingga umat internasional menjadi bukti bahwa nilai-nilai Qur'ani bisa dihidupkan dalam kerja kolektif.
Namun di balik capaian yang mengagumkan itu, ada kisah-kisah yang mengharukan. Tentang santri yatim yang memeluk Qur'an karena tak ada lagi yang bisa mereka peluk di dunia ini. Tentang guru-guru yang rela hidup sederhana demi menjaga api ilmu tetap menyala. Tentang keluarga-keluarga yang bangga karena anak mereka hafal Qur'an meski hidup pas-pasan. Ini bukan sekadar angka dan program. Ini tentang hati yang dipertemukan dengan cahaya.
KH. Yusuf Mansur sering mengingatkan bahwa Al-Qur'an adalah mukjizat yang hidup. Mukjizat yang tidak usang dimakan zaman. Dan Daarul Qur'an adalah upaya kolektif untuk membuktikan bahwa mukjizat itu masih bekerja menyembuhkan, menguatkan, dan mengangkat derajat manusia. Ini bukan sekadar lembaga, tapi gerakan cinta.