Hegemoni Republik Rakyat Tiongkok (RRT) melalui Peta Nine Dash Line-nya merupakan ancaman baik bagi kedaulatan Indonesia ataupun negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) lainnya. Selain Indonesia, Malaysia, Brunei Darusalam, dan Filipina merupakan negara anggota ASEAN yang mempermasalahkan klaim sepihak ini. Nine Dash Line ditetapkan secara sepihak sebagai landasan untuk mengeksploitasi kekayaan alam di Laut Tiongkok Selatan (LTS). Berdasarkan pandangan RRT, kekayaan alam tersebut dapat dieksploitasi tanpa harus mendapatkan persetujuan dari negara pantai yang memiliki wilayah beririsan dengan peta tersebut. Â Â
Peta Nine Dash Line merupakan tindakan unilateral yang tidak sejalan dengan aturan hukum internasional. Adanya kegiatan eksploitasi sumber daya alam pada bagian Laut Natuna Utara yang beririsan dengan peta tersebut melanggar serangkaian kaidah pada United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982). Tindakan eksploitasi tersebut melanggar ketentuan pada Article 56 UNCLOS 1982 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang mewajibkan negara pengguna wilayah (maritime user state) untuk meminta persetujuan terlebih dahulu (prima facie) kepada negara pantai (coastal state). Berdasarkan Article 58 UNCLOS 1982, RRT selaku anggota dari konvensi ini hanya memiliki hak untuk berlayar, hak lintas kapal terbang, dan hak pemasangan kabel bawah laut pada zona ini. Dengan demikian, hak untuk memanfaatkan sumber daya alam di Laut Natuna Utara hanya dapat RRT miliki apabila telah disetujui oleh Indonesia. Â Â
Selaku negara yang berkeberatan terhadap peta tersebut, Filipina telah membawa permasalahan ini ke Permanent Court of Arbitration (PCA). Tribunal ini memutuskan bahwa RRT tidak berhak atas penguasaan Scharborough Shoal dan Kepulauan Spratly atau Kalayaan yang merupakan bagian dari LTS yang kedudukannya bersebelahan dengan ZEE Filipina di LTS. RRT tetap mengabaikan putusan tersebut dengan menyatakan bahwa majelis arbitrase pada tribunal tersebut tidak mempertimbangkan klaim historis yang RRT telah dalilkan. Hikmahanto Juwana berpandangan bahwa putusan PCA tersebut merupakan kaidah hukum yang seharusnya ditaati RRT. Pernyataan ini sejalan dengan Article 287 jo. 296 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa tribunal arbitrase merupakan forum penyelesaian sengketa perihal penerapan dan/atau penafsiran konvensi ini. Sifat mengikat putusan tersebut harus ditaati oleh seluruh anggota yang bersengketa.
Melalui kemenangan Filipina di PCA, Indonesia ataupun negara anggota ASEAN lainnya tidak perlu membawa permasalahan Nine Dash Line ini ke badan penyelesaian sengketa internasional. Indonesia justru harus merangkul anggota ASEAN lainnya, terutama yang berkepentingan, untuk menerapkan isi Putusan PCA tersebut. Langkah kolektif ini harus diambil melalui kerja sama internasional di bidang konservasi sumber daya kelautan, dan bidang pertahanan dan keamanan wilayah laut. Kerja sama regional ini diharapkan mampu menciptakan stabilitas politik di wilayah perairan ASEAN yang beririsan dengan Laut Tiongkok Selatan. Selain itu, kerja sama ini juga akan sejalan dengan prinsip timbal balik (reciprocity) yang diakui hukum internasional. Â
Esai ini hendak mengajak pembacanya untuk memandang isu Nine Dash Line ini bukan hanya sebagai isu individual Indonesia selaku subjek hukum internasional berupa negara yang berdaulat. Akan tetapi, esai ini juga hendak mengajak para pembacanya untuk memandang isu ini sebagai isu kolektif ASEAN selaku organisasi internasional yang hendak menciptakan stabilitas politik pada wilayahnya. Pandangan ini tentunya tidak bertujuan untuk menghilangkan jiwa nasionalis dari pembacanya. Pandangan ini justru bertujuan untuk membuka cakrawala pembacanya guna memahami bahwa Indonesia tidak sendiri dan memiliki peluang untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Gagasan mengenai perlunya kerja sama internasional ini dikemukakan berdasarkan instrumen hukum pada level multilateral dan regional sebagai berikut. Article 242 UNCLOS 1982 mewajibkan setiap negara anggotanya untuk melakukan kerja sama di bidang kelautan, dengan tetap menghormati kedaulatan masing-masing negara pantai. Pelaksanaan dari pasal tersebut didukung dengan berlakunya Article 45 ASEAN Charter yang mewajibkan setiap anggotanya untuk menaati isi dari perjanjian multilateral yang dianggotakan oleh seluruh anggota ASEAN. Terakhir, Article 8 jo. 18 ASEAN Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources mewajibkan setiap anggotanya untuk melakukan kerja sama internasional di bidang konservasi wilayah perairan ASEAN.Â
Selain didasari oleh perjanjian internasional, gagasan mengenai kerja sama internasional ini juga sejalan dengan temuan putusan pengadilan internasional sebagai berikut. Permanent Court of Internasional Justice (yang saat ini telah digantikan oleh Internasional Court of Justice) berpandangan bahwa hukum internasional merupakan kaidah yang terbentuk berdasarkan kehendak kolektif dari negara-negara. Sejalan dengan temuan tersebut, Hiedrich Triepel kemudian berpandangan bahwa kehendak kolektif tersebut memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan kehendak negara yang bersifat sepihak. Pandangan ini dikenal dengan istilah Teori Kehendak Bersama (Vereinbarungtheorie).
Walaupun perjanjian internasional di atas memuat kewajiban kerja sama di bidang penelitian dan pelestarian sumber daya kelautan, kewajiban primer ini tetaplah relevan. Relevansi ini didasari oleh The Principle of Effectiveness oleh Hans Kelsen. Prinsip ini menyatakan bahwa efektivitas suatu negara dalam menguasai suatu wilayah ditentukan oleh berlakunya hukum nasional di wilayah tersebut. Prinsip ini dapat Indonesia terapkan dengan melakukan kegiatan penelitian, pemanfaatan sumber daya alam, dan pemeliharaan lingkungan di Laut Natuna Utara dan area sekitarnya. Apabila tindakan ini dilakukan secara kolektif oleh setiap negara anggota ASEAN dan didukung oleh aksi bahu-membahu yang nyata, maka tindakan unilateral RRT untuk menguasai wilayah lautan yang beririsan dengan Peta Nine Dash Line dapat dibendung. Â Â Â
Gagasan kerja sama internasional ini juga sejalan dengan doktrin di bawah ini. Hikmahanto Juwana berpandangan bahwa penempatan personil militer saja tidaklah cukup untuk mengamankan kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara. Walaupun demikian, penempatan personil militer tetap memiliki peran yang penting. Pernyataan ini didasari oleh penjelasan Aristyo Darmawan yang menyatakan bahwa penembakan yang dilakukan oleh kapal penjaga pantai RRT terhadap nelayan Indonesia di Natuna Utara merupakan isu serius yang harus diperhatikan Indonesia.
Aristyo Darmawan juga mengemukakan bahwa Peta Nine Dash Line bukanlah satu-satunya permasalahan yang dapat mengancam kedaulatan Indonesia di Natuna Utara. Hadirnya Pakta AUKUS, perjanjian kerja sama di bidang militer angkatan laut oleh Australia, Inggris, dan Amerika Serikat merupakan ancaman potensial terhadap kedaulatan Indonesia dan anggota ASEAN lainnya. Dengan demikian, okupasi personil militer juga merupakan tindakan yang harus dilaksanakan bersamaan dengan konservasi wilayah perairan. Melalui kerja sama di bidang penelitian, pelestarian sumber daya kelautan, ditambah kerja sama di bidang pertahanan dan keamanan, maka Indonesia serta ASEAN secara keseluruhan dapat mempertahankan kedaulatan mereka dari ancaman luar.
Hegemoni RRT dan hadirnya Pakta Trisula atau Pakta Aukus (Australia, United Kingdom, and United States) merupakan ancaman potensial yang harus di respons dengan serius oleh Indonesia dan ASEAN secara keseluruhan. Oleh karena itu, Indonesia benar-benar perlu mengajak negara anggota ASEAN lainnya untuk melakukan kerja sama internasional ini. Kerja sama ini tidak dapat hanya dipandang sebagai formalitas belaka dalam rangka melaksanakan hukum internasional. Langkah ini harus dipandang sebagai tanggung jawab kolektif yang dilakukan demi mempertahankan kedaulatan negara-negara ASEAN di ZEE LTS, dari kepentingan politik pihak luar dan ancaman bersenjata. Ancaman tersebut dapat membahayakan keselamatan, ketersediaan sumber daya kelautan dan keutuhan lingkungan hidup di wilayah perairan tersebut.