Mohon tunggu...
Matteo Da Lopez
Matteo Da Lopez Mohon Tunggu... Pelajar

Seorang pelajar yang suka mengamati dinamika sosial disekitar.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Bayang-Bayang di bawah Mahkota Adikara

6 Agustus 2025   22:55 Diperbarui: 12 Agustus 2025   20:32 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://stockcake.com/i/fallen-king-s-throne_1565799_1188876

Di balik gemerlap mahkota dan megahnya singgasana, terselip kisah kursi kayu yang diukir dengan peluh wong cilik.
Kekuatan yang lahir dari rakyat seharusnya menjadi cahaya, namun terlalu sering redup di tengah kabut nafsu kekuasaan.

Adikara satu kata berjuta masalah. Adikara berarti kekuasaan atau wewenang yang diberikan kepada seseorang atau lembaga untuk memimpin dan mengambil keputusan penting. Dalam konteks moral dan politik, adikara menjadi pilar utama yang mengarahkan masa depan sebuah bangsa. Kekuatan adikara ini bisa dimiliki oleh raja dalam sistem monarki, presiden dalam sistem presidensial, atau perdana menteri dalam sistem parlementer, tergantung dari mana adikara dimaknai dan diterapkan.Di Indonesia, prinsip adikara berjalan bersama dengan konsep demokrasi ala barat, di mana suara rakyat sangat dihormati sebagai sumber utama kekuasaan. Tersampaikan dengan istilah vox populi, vox dei yang berarti suara rakyat adalah suara Tuhan. Namun, tak selama nya prinsip ini menjamin kekuasaan dijalankan dengan baik, karena terkadang kehendak mayoritas bisa keliru atau malah menindas kelompok minoritas. Pemikir seperti JJ Rousseau pernah mengingatkan bahwa suara rakyat bisa saja salah dan harus diawasi agar tidak berubah menjadi tirani.

Maka, jelas bahwa pemilu dan aturan hukum hanyalah "benteng" yang menutupi adikara sebenarnya. Adikara yang diperoleh dari pemilu atau pemilihan umum bukanlah kemenangan "saya" dan pribadi, melainkan mandat dan tanggung jawab besar dari rakyat. Adikara yang baik dan benar harus digunakan untuk melayani dan bukan menguntungkan kelompok sendiri. Demokrasi sebagai diharapkan menjadi alat mengawati dan membatasi penyalahgunaan kekuasaan.

Adikara mesti dijalankan dengan pikiran bersih, bijaksana, dan adil. Kekuasaan tanpa kendali, henti bisa menjadi masalah bagi "wong cilik" yang seharusnya terlindungi. Maka, sistem politik dan hukum yang baik butuh keseimbangan antara pemberian kuasa dan pengawasan agar negara berjalan baik dan kesejahteraan rakyat terwujud.

Wong cilik yang hilang,


Kini, kursi kayu yang dulu hangat oleh sentuhan tangan rakyat telah menjelma singgasana dingin di tengah kabut kuasa.
Namun, di balik senyap itu, masih ada denyut kecil wong cilik yang menanti untuk kembali didengar.
 

Lembar buku itu terukir, ia hanya seorang bayangan dari tanah--kering, berdebu, usang, tak dianggap. Lelah bekerja, setiap keringat nya ke serbuk kayu menjadi bentuk. Ia mengukir kursi yang tak pantas ia gunakan, tapi untuk yang katanya pantas memimpin. Ia mengukir papan catur yang tak pantas ia atraksikan, tapi untuk "king maker" sesungguhnya. Disini, ia merasakan bahwa duduk tak selalu berkuasa dan tak bermain catur "bodoh". Ia adalah "wong cilik" yang mulai menyusun mimpi besar.

Ia tak bisa melawan deruyan kencang angin kekuasaan, membawa semerbak harum wewangian mahkota dan singgasana, namun ia tak goyah dan tetap berdiri dengan senyum dan mata yang lembut. Tawa lembut, tak mengejek tapi bertanya dan berbisik "Apakah mereka memikirkan kita?" Ia tak perlu senjata dan tidak mau mengangkatnya, tapi ringan nya parodi nya yang halus menjadi jeda disekat kerasnya suara raja yang tertidur dengan kursi kuasanya.

Ombak bergulir sekencang waktu yang berjalan. Kini, bersama dengan wong cilik ia berdiri dan dengan senyum raut wajahnya berkata "jiwa kalian adalah saya, saya adalah kalian". Wong cilik yang terbawa derasnya ombak samudera hindia membawanya sampai ke singgasana yang dahulu ketika ia amplas sangat susah dibuat.  Bedanya, kursi itu bukan kursi kayu kasar yang hangat oleh sentuhan tangan nya, singgasana itu berubah menjadi relung mistik dan sunyi yang penuh bayang--bayang kepalsuan. Apakah Ia mau mencium dan mendengar wong cilik yang dulu mengalun dalam setiap ketukan dan amplas pahatnya? Atau justru kini ia tenggelam dalam keheningan lautan yang memisahkan dirinya dari pijakan dan keringat wong cilik?

Oh Adikara, harapanmu terlalu indah terputus dan menjadi bayangan. Lumen cahaya kesederhanaan yang pernah bersinar terbenam oleh hasrat nafsu kekuasaan. Seperti bulan sabit yang malu dibalik gelapnya awan, sosok itu seperti hantu yang mencoba menemukan tawan nya yang dulu, tawa yang membuat beban jadi ringan, dan mencahayakan harapan. Karena adikara bukan untuk dipertaruhkan dengan darah, tetapi dijaga dengan hati yang rendah dan beban jiwa yang berkobar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun