Mohon tunggu...
Mathieu Warrenn Tjahaja
Mathieu Warrenn Tjahaja Mohon Tunggu... Siswa

Halo

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketika Bangsa Takut Bayangan Sendiri

29 September 2025   12:25 Diperbarui: 29 September 2025   12:23 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia hari ini tengah dihadapkan pada berlapis persoalan: dari fobia sosial yang mengakar, sandiwara hukum yang menguras kepercayaan publik, hingga krisis keteladanan pemimpin bangsa. Tiga artikel reflektif yaitu "Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu" karya F. Rahardi, editorial Tempo "Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal", dan kolom Budiman Tanuredjo "Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati" menjadi cermin yang memantulkan wajah buram negeri ini.

F. Rahardi dengan gaya satirnya menunjukkan bagaimana masyarakat bisa dilanda fobia massal terhadap hal yang sebenarnya tidak membahayakan. Ulat bulu, yang seharusnya bagian dari siklus alam, dipandang sebagai bencana. Lebih jauh, fobia ini dipakai sebagai metafora untuk menggambarkan kepemimpinan bangsa yang rapuh: presiden takut dimakzulkan, menteri takut reshuffle, partai takut ditendang dari koalisi. "Fobia terhadap apa pun pada akhirnya akan merugikan si penderita. Terlebih bila fobia itu terjadi secara massal dan berkepanjangan seperti di republik hantu ini" (Rahardi).

Senada dengan itu, editorial Tempo menyoroti lemahnya penanganan kasus pagar laut ilegal di Banten. Pemerintah terkesan membiarkan sandiwara hukum dimainkan. "Penyidikan kasus ini semestinya tidak memerlukan teknik yang rumit dan bertele-tele," tulis Tempo. Namun kenyataan di lapangan, tarik-menarik kepentingan justru melanggengkan ketidakpastian hukum. Kegagalan negara dalam kasus pagar laut menjadi simbol hilangnya ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum terhadap oligarki.

Budiman Tanuredjo dalam kolomnya menegaskan krisis yang lebih fundamental: sirnanya keteladanan. Sumpah jabatan anggota DPR hanyalah teks mati, etika hanya ornamen. Reformasi 1998 yang diharapkan membawa perubahan kini seperti kehilangan arah. "Soal ketidakadilan ekonomi, soal keteladanan, dan lumpuhnya penegakan hukum, soal perjudian. Rasanya belum ada perubahan signifikan. Soal krisis keteladanan rasanya itulah kenyataan yang ada" (Budiman).

Dari tiga artikel ini, kita bisa menarik benang merah: bangsa ini sedang sakit. Sakit oleh ketakutan kolektif yang absurd, sakit oleh permainan politik dan hukum yang busuk, sakit oleh hilangnya sosok teladan yang bisa menjadi kompas moral. Ketiganya berpangkal pada satu hal: runtuhnya integritas.

Maka, tugas kita bukan sekadar menertawakan ironi, melainkan menuntut perubahan. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang tidak larut dalam fobia, pemerintah yang berani menghadapi oligarki, dan wakil rakyat yang menjadikan sumpah jabatan bukan sekadar teks mati. Tanpa itu, krisis akan berulang, dan republik ini akan terus menjadi "republik hantu" yang gentar menghadapi bayangannya sendiri.

Sumber artikel

1. Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu  (F. Rahardi, Kompas.com) , 2. Sandiwara Penyelesaian Pagar Laut Ilegal (Editorial Tempo), 3. Ketika Sumpak dan Etika hanya Menjadi Teks Mati (Budiman Tanuredjo, Kolom Kompas, 28 Agustus 2024)  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun