Mohon tunggu...
Didit dit
Didit dit Mohon Tunggu... Guru -

mensyukuri hidup dengan cara menjalaninya

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Penyebar Hoax dan Generasi Auto Copas

22 Januari 2017   07:22 Diperbarui: 22 Januari 2017   16:01 1593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beliau telat mengeluarkan statement itu sekarang. Juru fitnah dan penyebar hoax merajalela sudah sejak akhir masa pemerintahannya, ketika dua kandidat beradu argumen, bersaing untuk jadi RI-1.

Mustofa Bisri, tokoh sepuh dari Rembang, mengaku resah terhadap penyebar hoax dan generasi auto copas. Beliau bahkan menyamakan masyarakat sekarang seperti Habil dan Qabil, yang satu memangsa yang lain, yang satu memperlihatkan keganasannya kepada yang lain. Beliau seperti ingin mengatakan kepada kita, para penyebar hoax, generasi auto copas, adalah Qabil-Qabil baru di era modernitas.

Dengan sangat satir dan menohok Gubernur Jawa Tengah, Pak Ganjar mengatakan, Indonesia salah satu negara peringkat terbawah dalam literasi, tapi paringkat ke-5 dalam soal berkomentar. “Jadi kita itu jago cerewet tanpa literasi,” begitu ujarnya pada saat acara masyarakat anti hoax digelar di Semarang.

Apa kabar Pak Jokowi?

Pada peringatan ulang tahun Gontor tahun lalu, dalam pidatonya, saya masih ingat Pak Jokowi mengaku geram melihat perilaku pengguna media sosial di Indonesia yang acapkali menebar kebohongan dan kata-kata tidak manusiawi. Mungkin beliau merasa hal ini adalah tamparan bagi jargon revolusi mental yang ia jual pada pemilu yang lalu. Atau beliau masih menyimpan kekesalan mengingat baru-baru ini beliau menjadi korban keganasan penyebar hoax lewat Jokowi Undercover yang membaca halaman pertamanya saja membuat saya seperti memakan bangkai berusia tiga belas purnama.

Saya sependapat dengan Pak Ganjar. Saya bukan orang Jawa Tengah, juga bukan simpatisan PDI-Perjuangan, maka pilihan saya untuk sependapat tidak berdasar kepentingan apapun. Saya suka pendapat beliau yang menghubungkan perilaku hoax dengan buruknya budaya literasi di Indonesia yang membuat banyak sastrawan nangis darah dan maki-maki dalam karya-karyanya.


Rendahnya budaya literasi, rendahnya minat baca, rendahnya kemauan dan kemampuan untuk menulis mendorong generasi kita menjadi generasi serampangan, sembarangan, pemalas, dan auto copas.

Saya punya sedikit saran bagi orang-orang semacam ini. Karena mereka adalah pesakitan, maka saya tawarkan obat. Membaca dan menulislah banyak-banyak, berhenti copy paste, berhenti jadi penyebar, kreatiflah, berubahlah menjadi penyaji, jika tidak sanggup maka diamlah. Jika memiliki gagasan, ide, sesuatu yang ingin dibaca banyak orang, buatlah karya orisinil milik sendiri, jangan cuma salin dan tempel, sangat tidak elegan. Mungkin saran saya tidak akan berhasil sepenuhnya, tapi mungkin juga akan berhasil, siapa yang tahu karena belum dicoba?

Menulis, Anda tahu? mendorong orang-orang untuk lebih giat membaca dan mengumpulkan fakta-fakta. Menulis mendorong orang-orang untuk merenung, sibuk menenun kata-kata, dan membuat mereka kehabisan waktu untuk berprasangka jahat dan menyalin berita-berita palsu. Menulis mematikan mode auto copas dalam otak mereka.

Saya sedikit sangsi mereka akan mau mendengar apa yang saya sampaikan, tapi saya tidak boleh berhenti berharap, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun