Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Falsafah Bertetangga bagi Masyarakat Aceh

21 Oktober 2022   17:41 Diperbarui: 21 Oktober 2022   17:58 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pariwisataindonesia.id

Dalam kehidupan orang Aceh, hidup bertetangga layaknya hidup bersaudara. Nilai kesopanan dalam bertetangga juga dijaga dengan baik dengan kerap bertatap sapa dan saling mengunjungi ketika ditimpa musibah.

Pada umumnya, masyarakat Aceh sangat menjaga hubungan keakraban dengan tetangga sebelah, depan dan belakang rumah. Satu alasan pasti yaitu peran tetangga sangat dibutuhkan dalam beberapa acara adat, semisal perkawinan, acara tujuh bulanan, dll.

Sejauh observasi saya, dalam beberapa aspek kehidupan tetangga memiliki fungsi kedua setelah saudara dekat. Prosesi perkawinan tidak terlepas dari saling bantu antar tetangga, begitu juga saat ditimpa musibah.

Memang tradisi saling membantu ini sedikit demi sedikit sudah mulai bergeser pada kehidupan perkotaan, dimana rumah-rumah mulai lebih kecil dan halaman tidak seluas dulu. Walaupun demikian, nilai kesopanan dalam bertetangga masih tetap dipegang kuat.

Dulunya, masyarakat Aceh pada umumnya memiliki rumah dengan halaman luas di kampung-kampung. Ketika ada acara, hampir semua masyarakat berkecimpung saling membantu. 

Bukan hanya itu, dalam budaya Aceh nilai persaudaraan dengan saling membantu dalam kehidupan bertetangga sangatlah krusial. Di beberapa tempat malah masyarakat akan mengumpulkan uang untuk membantu keluarga yang tidak mampu.

Pernah saya mendengar cerita seorang saudara yang melakukan acara sunatan untuk anaknya, pada saat itu masyarakat berinisiatif untuk membantu dengan mengumpulkan uang seikhlasnya. Alhasil, uang yang dikumpulkan  bahkan sampai jutaan. Padahal, si pemilik hajatan malah sudah mengatakan bahwa iya akan mempersiapkan semuanya.

Bagi orang Aceh, membantu seseorang adalah sebuah kewajiban, apalagi tetangga sebelah rumah yang sedang ditimpa musibah. Kehidupan masyarakat Aceh tidak pernah terlepas dari nilai-nilai adat yang melekat erat.

Sebagai contoh, ada nilai yang disebut "peumulia jamee" yang bermakna memuliakan tamu. Jadi, jangan heran jika berkunjung ke Aceh dan di undang ke rumah hidangan yang diberikan terkesan mewah.

Ini bukan melambangkan masyarakat Aceh itu kaya-kaya, namun nilai memuliakan tamu itu masih dipegang kuat sampai saat ini. Walaupun tuan rumah jarang makan ayam, ia akan mencari ayam untuk memuliakan tamu yang datang.

Makanya dalam adab bertetangga di Aceh, saling mengunjungi disaat musibah sangat dianjurkan. Ketika ditimpa musibah, tetangga sebelah rumah akan membuat/membeli kue atau makanan dan membantu di rumah duka beberapa hari tanpa harus diminta.

Hal yang sama juga berlaku ketika tetangga sedang menggelar acara seperti pernikahan anak atau acara lainnya. Tetangga sebelah rumah akan datang membantu dari pagi sampai sore.

Ada satu frase dalam bahasa Aceh yang mengisyaratkan nilai bertetangga, yaitu "Ureung Lingka". Ureung bermakna orang dan Lingka bermakna sekitar. Jika diartikan frasa ini bermakna tetangga sekitar, konteksnya bisa beberapa rumah sekitar.

Pada acara-acara tertentu seperti pernikahan anak, sunatan, tujuh bulanan, dll, peran tetangga sangatlah penting. Bahkan, jika tidak mengundang tetangga yang rumahnya berseblahan atau dalam jangkauan 100 meter maka ini dianggap sombong.

Setiap acara penting seperti yang saya sebutkan diatas, biasanya akan ada rapat terlebih dahulu yang melibatkan kepala dusun dan tetangga yang berdekatan. Tujuannya adalah untuk membicarakan mekanisme acara dan musyawarah sesama tetangga demi kelancaraan acara yang akan digelar.

Kesemua ini tidak terlepas dari falsafah bertetangga yang hingga kini masih terus tersambung antar generasi. Meskipun demikian, di beberapa kawasan perkotaan etika bertetangga sudah sedikit luntur karena gaya hidup individualistik. Akibatnya, banyak perumahan yang dibangun tidak lagi mengindahkan nilai kesopanan.

Ada yang asal membangun rumah tanpa memberi jarak sehingga air hujan merembes ke tetangga. Hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya karena nilai persaudaraan ketika bertetangga.

Rumah-rumah Aceh tempo dulu dibangun dengan konsep yang matang. Sisi keamanan, kenyamanan, dan kekuatan sebuah rumah sangat diperhitungkan. Bukan hanya itu, sisi kiri dan kanan, depan dan belakang selalu memiliki ruang agar tidak menyakiti tetangga.

Ruang tamu rumah Aceh juga luas karena bertujuan untuk menampung banyak orang ketika bersilaturrahmi. Berbeda dengan kebanyakan rumah-rumah saat ini yang umumnya hanya fokus pada estetika tapi jarang memperhatikan etika. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun