Alam demokrasi memberikan kebebasan. Setiap warga negara berhak untuk bersuara dan mengeluarkan pendapat.
Adalah seorang presiden Jokowi yang meminta rakyat untuk tidak takut mengritik. Tentu kritik konstruktif. Bukan asal kritik. Apalagi cenderung ke fitnah.
Setidaknya kritik akan menjadi bahan evaluasi dan wahana intropeksi diri bagi para pejabat. Selayaknya pula para pejabat tidak alergi kritik. Harus mau mendengarkan. Jangan buru-buru apriori. Apalagi membungkam kritik.
Kritik Konstruktif
Supaya kritik yang disampaikan menjadi efektif. Berikut ini tiga hal yang harus dihindari jika ingin melakukan kritik.
Pertama, ewuh pakewuh
Perasaan ewuh pakewuh atau sungkan harus disingkirkan jika kita ingin mengritik. Perasaan tidak enak atau kasihan akan menjadikan kritik tidak orisinil. Bahkan akan menjadi sentimentil.
Budaya ewuh pakewuh biasanya dimanifestasikan dengan kata-kata bersayap. Apabila pejabat yang ingin dikritik tidak peka maka pesan kritik tidak akan sampai. Bahkan bisa menimbulkan salah tafsir.
Kedua, tendensius.
Maksudnya hindarkan kritik yang bertendensi negatif. Menyerang pribadi bukan kebijakannya. Kalau tendensi negatif yang dikedepankan ujung-ujungnya akan bermuara pada fitnah.
Fenomena di masyarakat sering kentara sekali kritik yang demikian. Indikasinya terlihat dari kritik yang dilontarkan. Arahnya mudah ditebak.
Apapun yang dikerjakan oleh pejabat yang tidak disukai selalu saja disalahkan. Kebijakan baik atau buruk tetap saja salah di mata pengritik. Orang Jawa bilang waton suloyo! Yang penting rame. Gaduh.
Ketiga, melebar ke mana-mana.
Kritik harus fokus dan jelas. Terpusat pada suatu permasalahan. Jangan ditambah-tambahin dengan bumbu-bumbu yang tidak perlu. Mubadzir.
Jelas disampaikan kepada siapa kritik disampaikan. Tidak usah muter-muter. Orang akan menjadi pusing mendengarkannya. Sulit menemukan pokok kritikannya.
Begitu saja.Â
Jkt, 220221