Mohon tunggu...
Mas Sam
Mas Sam Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca tulisan, menulis bacaan !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Siap-siap Adapatasi BBM Baru

20 Juni 2020   21:44 Diperbarui: 20 Juni 2020   21:35 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalo bicara soal BBM ingatan kita langsung tertuju kepada antrian panjaaang dan multiplier efek kenaikan harga.

Pada masa ketika negara menganut sistem devisa tetap, nilai tukar rupiah terhadap dollar sudah ditentukan oleh pemerintah.  Salah satu dampak turunannya adalah ditetapkannya Harga Eceran Tertinggi Bahan Bakar Minyak (BBM).  Kompasianer generasi 80-90an pasti ingat fenomena antri isi BBM.

Pemerintah biasanya mengumumkan akan adanya kenaikan harga BBM yang  mulai berlaku pukukl 24.00 WIB.  Sontak saja masyarakat akan berrbondong-bondong mengantri isi bensin di SPBU dari sore samapai tengah malam.  Saya yang malas kalo suruh antri begituan, kadang tak habis pikir, kenapa hanya demi menghemat dua ratusan rupiah orang rela berjam-jam antri.  

Bayangkan, motor kan hanya muat sekitar 3 liter bensin.  Kalo ada kenaikan Rp.50,00 per liter berarti hanya menghemat 150 rupiah kan.  Tidak sebanding dengan lamanya mengantri. Oh ya, kenaikan harga BBM saat itu hanya kisaran seratusn rupiah per liter.

Hal yang menarik lagi begitu lewat tengah malam muncullah multiplier efek dari penerapan harga baru BBM.  Yang pertama menaikkan harga adalah sopir angkot, alasannya bensin naik.

Selanjutnya para pedagang ikut-ikutan menaikkan harga dagangan, alasannya ongkos angkut naik.  Pabrik-pabrik lantas menaikkan harga jual produknya, alasannya bahan baku sudah menyesuaikan harga. Dan seterusnya dan seterusnya.  Yang memble para pekerja, upah tetap tapi kebutuhan terus naik.

Setelah  pemerintah menganut sistem devisa bebas maka harga BBM mengikuti mekanisme pasar.  Acuannya adalah naik turunnya nilai tukar dollar dan harga minyak di pasar internasional.  Secara teoritis, kalo pada masa sistem devisa tetap kenaikan harga BBM paling terjadi satu atau dua tahun sekali, pada masa sistem devisa bebas bisa saja dalam satu tahun terjadi berkali-kali naik atau turun.

Ada guyonan di masyarakat kalo sudah naik tidak bisa turun, tetapi dalam prakteknya harga BBM pernah terjadi penurunan.

Akan halnya rencana penghapusan BBM jenis premium dan pertalite lebih kepada upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup.  Seperti kita sudah ketahui bahwasanya dua jenis BBM tersebut membawa dampak polusi udara yang sangat tinggi.  Sementara BBM jenis Pertamax (RON di atas 91) lebih ramah lingkungan.

Peralihan dari premium dan pertalite (RON 82) ke pertamax dalam jangka pendek akan berpengaruh terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat. Pengeluaran ekonomi masyarakat pasti akan ada kenaikan.  Gejolak di masyarakat bisa saja terjadi, apalagi di masa pandemi covid-19.  Atau malah sekalian saja ndompleng situasi adaptasi kenormalan baru, sekali merengkuh dayung dua tiga tujuan tercapai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun