Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Media Massa Kampret dan Politikus Kampret

21 Oktober 2016   22:53 Diperbarui: 21 Oktober 2016   23:04 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nyarwi Ahmad (2012) dalam bukunya Manajemen Komunikasi Politik dan Marketing Politik: Sejarah,Perspektif dan Perkembangan Riset, menyebutkan masyarakat kota mengekspresikan politik harian yang dipengaruhi oleh budaya perkotaan. Setiap kelas sosial, mengembangkan persekutuan dan asosiasi baik yang bersifat formal maupun informal di masing-masing profesi yang dijalaninya. Justru menurut penulis, budaya politik dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh media massa.

Menurut sudut pandang positivisme, media massa merupakan sarana untuk menyampaikan pesan pada masyarakat. Artinya, media massa tidak memiliki ideologi dan kepentingan apapun pada masyarakat. Menurut pandangan aliran kritis, media massa membawa sebuah agenda atau dalam bahasa sederhana kepentingan. Media massa justru memiliki ideologi tersirat yang disusupkan pada khalayak. Media massa memiliki jutaan kepentingan bahkan terkait dengan kapitaslime.

Penulis menyebut perubahan budaya masyarakat saat ini disebut dengan media massa dan politik kampret. Politik sendiri artinya adalah seni atau cara untuk mengatur sebuah kekuasaan. Sesuatu yang berhubungan dengan kekusaan dan pengaturan pemerintahan adalah politik. Media massa adalah alat penyampaian pesan baik berupa media cetak, media elektronik, dan media siber (internet). Jadi, media massa dan politik memang tidak dapat dipisahkan. Media massa dan politik adalah senjata paling ampuh untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Kampret adalah semacam umpatan berbentuk sarkas atau kasar dalam keseharian masyarakat Jawa. Kampret merupakan lupasan emosi seseorang dalam bentuk bahasa atas sebuah kejadian penting. Biasanya, seseorang yang mengeluarkan kata kampret, disebabkan ada Sesuatu yang dirasakannya menyebalkan. Umpatan kampret masih dapat dikatakan tidak terlalu vulgar dibandingkan kata dancok. Sepengetahuan penulis, dancok adalah bahasa umpatan yang sering dipakai oleh orang-orang Suroboyonan.

Maka, dalam tulisan ini penulis lebih suka menyebut perilaku media massa dan para politikus dengan sebutan kampret. Jika penulis menggunanakan kata dancok, malah akan terlihat sangat vulgar atau sangat jorok. Kenapa penulis menggunakan bahasa kampret untuk media massa dan politik? Sebab, ada banyak dosa pengelola media massa dan politikus terhadap khalayak (masyarakat). Namun, tidak semua pelaku di media massa (jurnali, red) dan para politikus, penulis sebut kampret.

Masih banyak orang-orang yang baik di luar sana dengan kebaikan penuh. Orang-orang yang dengan idealismenya setia untuk membela kebenaran. Ada politikus di gedung senayan sana, rela mengorbankan hidupnya untuk membela yang benar dan menolak yang bayar. Walaupun ada sebagian atau lebih dari sebagian politikus dengan lantang membela yang bayar dan menolak yang bayar. Orang-orang seperti ini yang penulis sebut dengan politikus kampret.

Bidang media massa yang menggunakan ruang public juga menghasilkan jurnalis/pekerja media yang bermental kampret. Mereka orang-orang yang rela menjual kebenaran dan kemanusiaan hanya untuk mengemis receh. Idealisme mereka sebagai jurnlis sudah dilemparkan ke dalam tong sampah. Dalam setiap pekerjaan peliputan berita, misalnya mereka membuat framing yang menipu. Mereka tidak membuat berita yang sesuai dengan fakta di lapangan.

Mereka membuat framing berita-berita yang justru memihak pada mereka yang bayar. Mereka melakukan peliputan berita hanya berdasarkan pesanan penguasan di mana mereka bekerja. Kebenaran bagi mereka adalah relatif dan sesuai dengan konteks budaya saja. Maka, jangan heran jika saat ini media lebih banyak menayangkan berita-berita sampah. Sebagian media yang lain membuat tayangan komedi tanpa intelektualisme. Tayangan mereka hanya banyolan tanpa makna, membuat orang tertawa sementara.

Sebagai contoh masih ada media televisi yang sampai saat ini setia menayangkan kasus pemunuhan bertema “Sianida”. Pertanyaan menggelitik, apa untungnya buat kemajuan program mereka? Apakah tayangan sampah itu bermanfaat untuk masyarakat? Atau memang para pengelola program televisi itu miskin kreativitas, sehingga untuk membuat progam yang bermutu dan mendidik mereka tidak mampu?

Ada juga media yang berbulan-bulan menayangkan acara dangdut tanpa kreativitas yang baru. Acara itu hanya semacam hiburan di tengah-tengah kondisi bangsa yang sedang chaos (kacau). Masyarakat diajak sejenek untuk bergoyang ria sambil melupakan kemiskinan dan kebodohan yang sesungguhnya. Bahkan mereka digiring untuk melupakan bahwa bangsa ini sedang digerogoti oleh utang yang jumlahnya mencapai 400 trilyun lebih. Mereka dihipnotis dengan acara sampah yang tidak membuat masyarakat menjadi kritis terhadap masalah bangsanya.

Kondisi yang telah dijelaskan di atas hanya sebagian kecil patologi sosial yang ada dalam masyarat. Media massa dan politikus kampret setidaknya ikut andail dalam keterpurukan bangsa ini. Politikus kampret masuk jajaran cabinet/legislatif hanya bermofit kapitalisme. Sama juga dengan pelaku media massa yang memanfaatkan ruang publik untuk kepentingan kapitalisme. Mereka adalah golongan orang-orang yang masuk dalam kategori orang-orang kampret. Negara dan bangsa ini harus dijauhkan dari orang-orang kampret semacam mereka.

Jakarta, 21 Oktober 2016

Ditulis dari sudut jalan Mampang Prapatan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun