Mohon tunggu...
David Efendi
David Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

seorang warga biasa-biasa saja. Ingin berbagi sebagai bagian upaya memberikan arti hidup small act of Kindness. Pegiat Perpustakaan Jalanan Rumah Baca Komunitas yang memberikan akses bacaan, pinjaman buku tanpa syarat dan batas waktu. Belajar apa saja sebagai kontributor di www.rumahbacakomunitas.org

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Dipersengketakan

1 April 2016   08:27 Diperbarui: 1 April 2016   08:38 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 Saya, beberapa bulan ini, mengamati bagaimana demokrasi diperbincangkan luas di media sosial. IstiLah demokrasi yang makin negatif konotasinya ini menjadi penting disebut lantaran munculnya gerakan calon independent di Jakarta Dan Yogyakarta. Spektrum perdebatannya sangat Kompleks mulai yang nasionalis, religius, dan yang kehilangan kepercayaan dengan nilai apa untuk membungkus pendapatnya.

Pandangan 1 (nasionalist religious)

"Demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Setiap warga negara berhak memilih dan dipilih. Setiap orang juga bebas berbicara dan mengutarakan pandangannya. Berkampanye sepuasnya untuk mendukung calon yang dianggapnya terbaik, tidak dilarang.
Tapi demokrasi juga ada aturan mainnya. 

Ada hukum yang mengatur dan membatasi perilaku warga. Tujuannya tidak lain agar demokrasi itu sendiri selamat sampai tujuan. Bukan justru proses demokrasi yang keliru akan meruntuhkan demokrasi itu dengan munculnya orang kuat yang menghendaki ketertiban umum dan keselamatan warga.

Bersitegang dalam bersaing sampai batas tertentu boleh saja. Tetapi ketika sentimen agama dan ras dimainkan melewati batas, maka warga telah memasuki arena yang sangat peka dan emosional yang dapat menyulut bentrok dan adu fisik. Bukan adu akal tapi adu emosi. Bukan adu argumen tapi adu caci maki. Bukan adu otak tapi adu otot. Dan tanda-tanda ke arah ini sudah mulai tampak.

Saat ini masih terbatas di media sosial. Ketika hal ini terus berlanjut dan meluas sampai ke darat, makin mendekati masa pemilu makin panas, maka kerukunan akan terancam, persatuan nasional akan terpuruk, dengan konsekwensi kehancuran atas segala yang sudah kita bangun selama ini dengan susah payah.

Bisa saja apa yang disampaikan diatas barangkali dianggap kekuatiran yang berlebihan.

Namun, dari pengalaman sejarah modern kita sendiri, kita tidak boleh lupa dan menganggap kecil potensi bahaya yang disebabkan oleh konflik yang disebabkan oleh suku, agama, dan ras (SARA).

Contohnya banyak, baik di tingkat nasional maupun di daerah. Tidak ada yang diuntungkan dari konflik jenis ini. Semuanya rugi. Korban manusia dan harta bisa berjatuhan. Luka yang ditinggalkan bisa bertahan lama dan sulit disembuhkan. Belum lagi reputasi kita di mata bangsa-bangsa lain sebagai bangsa yang beradab dan negeri yang sejauh ini telah berhasil membangun sistem demokrasi dengan sukses dan damai.

Karenanya marilah kita sama-sama bersaing dengan cara beradab, menonjolkan figur yang kita dambakan jadi pemimpin kita dari sisi karakter, rekam jejak, kemampuan, kejujuran, dan program-programnya yang paling realistis dan menguntungkan warga negara. Bukan sisi-sisi calon pemimpin yang tidak relevan dan berpotensi menimbulkan perseteruan sesama warga. Selamat bertanding. Semoga yang terbaiklah yang akan terpilih, siapapun dia.

Senada:"pendiri negeri bangsa ini sudah sangat paham mengapa bukan demokrasi liberal separti saat ini yang dipilih ? potensi tawuran akan terjadi dan koyak nya persatuan bangsa tidak lagi sampai pada hati nurani sebab demokrasi dengan model banyak-banyakan suara maka bergeser banyak banyakan duit ,dan demokrasi demikian hanya untuk para taipan yang akan menang dan pribumi pasti terpinggirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun