"Jika kau membunuh seekor kecoa, kau pahlawan. Jika kau membunuh seekor kupu-kupu yang indah, kau penjahat." -- Friedrich Nietzsche
Kutipan ini menyindir betapa rapuhnya standar moral manusia. Apa yang kita sebut "baik" atau "buruk" ternyata sering kali ditentukan oleh kriteria estetika yang subjektif. Seekor kecoa yang dianggap menjijikkan diposisikan sebagai musuh, sementara kupu-kupu yang indah dilindungi. Padahal, keduanya sama-sama makhluk hidup.
Moralitas dalam hal ini mirip dengan teka-teki lama "mana yang lebih dulu, ayam atau telur?"Â
Sebuah persoalan yang bisa dibenarkan dari berbagai sisi, namun tetap menyisakan ruang bias. Moralitas memang ada, tetapi bobotnya berbeda-beda tergantung siapa yang menilainya.
Psikologi modern memberi istilah untuk fenomena ini. Pertama, The Beauty-Goodness Stereotype (prasangka cantik--baik). Orang cenderung percaya bahwa mereka yang menarik secara fisik juga lebih baik hati, lebih cerdas, atau lebih bermoral. Nietzsche membalikkan logika ini, yang dianggap "jelek" atau "menjijikkan" (kecoa) otomatis diberi label jahat, sehingga menghancurkannya seakan-akan menjadi tindakan mulia.
Kedua, Affective Heuristic (heuristik afektif). Kita menilai risiko dan manfaat berdasarkan perasaan emosional. Rasa jijik pada kecoa membuat kita cepat menyetujui pemusnahannya, sedangkan rasa kagum pada kupu-kupu mendorong kita melindunginya. Moralitas kita, dalam hal ini, tidak sepenuhnya lahir dari pertimbangan rasional, melainkan dari pintasan emosi.
Fenomena bias moral ini tidak berhenti pada hewan atau estetika. Ia juga memengaruhi cara kita menilai tragedi sejarah, politik, bahkan praktik kolonialisme. Pembantaian dan genosida orang Yahudi pada masa Adolf Hitler, misalnya, kini dikenang sebagai fakta sejarah kelam. Mengutip Holocaust Encyclopedia (2024), setidaknya enam juta orang Yahudi mati dalam pembantaian itu. Lembaran hitam sejarah ini membentuk simpati global terhadap bangsa Yahudi. Namun dewasa ini, dengan preseden pembantaian terhadap rakyat Palestina oleh militer Israel, kata "jahat" ternyata bisa sangat dinamis, tergantung siapa yang memegang narasi.
Bias moral juga tampak dalam penilaian terhadap profesi. Seorang dokter yang mengambil keputusan hati-hati dengan risiko rendah, tetapi berakhir buruk, bisa dinilai "lalai" secara moral. Sebaliknya, keputusan ceroboh yang kebetulan membawa hasil baik mungkin lolos dari kritik. Sejarah kolonialisme pun mencatat hal serupa. Bangsa-bangsa Eropa melakukan penjajahan, perbudakan, dan pemerasan sumber daya di Amerika, Afrika, dan Asia. Semua ini kerap dibungkus dengan narasi "beban orang kulit putih" (The White Man's Burden) untuk "memperadabkan" penduduk pribumi yang dianggap biadab dan terbelakang.
Dalam kasus-kasus tersebut, bias moral sering bekerja melalui dua mekanisme yang saling melengkapi. Pertama adalah keberpihakan pada kelompok sendiri, atau in-group favoritism, di mana nilai-nilai Eropa dianggap universal dan superior sehingga kesejahteraan bangsa sendiri menjadi prioritas, walau harus mengorbankan kelompok luar. Kedua adalah dehumanisasi, yakni proses kognitif ketika kelompok luar dipandang kurang manusiawi, bahkan disejajarkan dengan hewan. Proses ini melemahkan empati dan memudahkan pembenaran moral untuk eksploitasi dan kekerasan. Dekhumanisasi kerap diperkuat oleh legitimasi budaya, agama, bahkan sains rasial yang pada masanya dianggap sahih.
Pada akhirnya, moralitas tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia dibentuk oleh rasa, estetika, kepentingan, dan narasi yang berkuasa. Menyadari bias moral ini adalah langkah awal agar kita tidak mudah terjebak dalam standar ganda baik yang diwariskan sejarah, dibentuk oleh emosi, maupun dipaksakan oleh kekuatan dominan