Trotoar adalah urat nadi perjumpaan paling demokratis dalam sebuah kota. Di sanalah semua warga, dari segala lapisan, berhak berjalan, bersua, dan membangun interaksi sosial. Jrgen Habermas dalam Public Sphere Theory (1962) menekankan pentingnya ruang publik sebagai arena diskusi bebas, rasional, dan egaliter, di mana warga kota dapat mengartikulasikan opini tanpa dominasi negara atau pasar.
Namun, realitas di banyak kota Indonesia justru berbanding terbalik. Alih-alih menjadi ruang aman bagi pejalan, trotoar kerap berubah fungsi: direbut pedagang, dipenuhi parkir liar, atau dibiarkan rusak tak terurus. Henri Lefebvre lewat konsep Right to the City (1968) mengingatkan bahwa kota bukan hanya ruang fisik, melainkan juga ruang sosial yang harus dimiliki bersama. Hak atas kota adalah hak kolektif warga untuk memproduksi, menggunakan, dan merasakan ruang publik secara adil.
Trotoar dalam Arus Urban
Sejak lama, jalan bukan sekadar sarana mobilitas, melainkan juga denyut kehidupan ekonomi. Trotoar pun menjadi "homebase" bagi wong cilik: para pedagang kaki lima yang tumbuh bersama hiruk pikuk perkotaan.
Sejarah mencatat, istilah kaki lima berawal dari era Gubernur Hindia Belanda Sir Thomas Stamford Raffles (1811--1816). Ia mewajibkan gedung-gedung di jalan utama Batavia membangun trotoar selebar lima kaki (five feet) untuk pejalan kaki (goodnewsfromindonesia.id, 2025). Dari situlah istilah itu melekat, yang kemudian dimaknai sebagai pedagang yang berjualan di emper toko atau tepi jalan, hingga kini diakui dalam KBBI.
Tetapi di balik romantisme sejarah itu, muncul paradoks: trotoar yang awalnya dipikirkan untuk pejalan, justru berubah fungsi menjadi arena bertahan hidup kelas bawah. Akhirnya kota menghadapi dilema antara menegakkan aturan tata ruang atau mengakomodasi realitas sosial-ekonomi warganya. Gambaran sehari-hari mudah kita temui: anak sekolah yang harus zig-zag menghindari motor di atas trotoar, ibu-ibu mendorong stroller sambil berebut ruang dengan parkir liar, atau lansia yang kesulitan karena jalur pejalan tidak rata.
Masa Depan Kota
Dalam kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), trotoar adalah simbol keadilan ruang kota. SDG 11 (Sustainable Cities and Communities) menekankan pentingnya kota yang inklusif, aman, dan berkelanjutan. Trotoar yang ramah berarti membuka akses setara bagi perempuan, anak-anak, lansia, difabel, dan semua warga. Bahkan lebih luas, trotoar juga mendukung SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan) karena mendorong gaya hidup sehat melalui berjalan kaki, serta SDG 10 (Mengurangi Ketimpangan) karena memastikan ruang publik tidak hanya bisa dinikmati kelas atas.
Banyak good practice kota dunia yang bisa jadi inspirasi. Paris misalnya, dengan konsep walkable city yang menempatkan pejalan kaki sebagai pusat. Atau New York dengan program pedestrian plaza, ketika jalan-jalan reklamasi disulap menjadi ruang publik hidup: dilengkapi kursi, meja, payung, tanaman hijau, hingga karya seni. Tempat ini tak hanya nyaman untuk berjalan, tapi juga jadi lokasi pasar, pertunjukan musik, hingga acara komunitas. Menariknya, pemerintah kota memprioritaskan plaza di kawasan padat yang minim ruang terbuka, agar warga tetap punya akses setara.
Investasi pada trotoar bukan sekadar soal estetika, melainkan meningkatkan kualitas hidup dan daya saing kota. Jakarta, Bandung, hingga Surabaya mulai melangkah ke arah itu, meski tantangannya masih besar: dari penegakan hukum hingga kesadaran masyarakat.