Pernahkah Anda datang ke sebuah resto, warung makan, bahkan angkringan dan tidak menemukan sambal? Saya pastikan Anda pasti merasa ada yang "hilang", "kurang", bahkan merasa "aneh" tempat makan kok gak ada sambelnya.Â
Demikian kiranya tebakan saya.
Hal ini membuktikan bahwa sambel, atau sambal, bukan sekadar pelengkap makanan di Indonesia. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari identitas, sejarah, dan bahkan psikologi masyarakat kita.
Sejarawan Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman, menceritakan bahwa sambal juga merupakan menu favorit dari sederet tokoh bangsa sekaliber Tjipto Mangoenkoesoemo, Soekarno, Ki Hajar Dewantara, dan Mohammad Hatta.Â
Berarti, selera kita setara kan ya sama bapak-bapak pendiri bangsa?
Sambel Bukan Cabe
Dewasa ini, banyak orang yang menganggap bahwa cabe merupakan kunci dari "sambal".Â
Tentu itu benar, namun cabe bukanlah satu-satunya. Sebelum cabai, masyarakat Nusantara menggunakan lada, jahe, dan andaliman sebagai sumber pedas.Â
Cabai (Capsicum spp.) bukan tanaman asli Indonesia; dibawa oleh pedagang Portugis dan Spanyol yang diperkirakan pada abad ke-16 dari Amerika.
Mari kita telusuri secara historis. Catatan tentang sambal ditemukan dalam Serat Centhini, sebuah naskah kuno yang berisi kumpulan pengetahuan tentang agama, seni, cerita rakyat, dan tradisi Jawa. Kemudian, pada era kolonial Belanda, sambal justru mulai populer di kalangan orang Belanda yang tinggal di Indonesia.