Mohon tunggu...
Untung Bahtiar Setiawan
Untung Bahtiar Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar Abadi

Menulis untuk mengikat Makna Suatu Peristiwa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Sepakat Pemilu 2019 sebagai Pemilu Paling Kompleks Sedunia

24 April 2019   07:28 Diperbarui: 24 April 2019   10:43 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 merupakan salah satu pemilu terbesar di dunia. Jika dilihat dari jumlah pemilihnya memang Pemilu 2019 masih di bawah Amerika dan India. 

Akan tetapi jika dilihat dari prosesnya, maka pemilu 2019 bisa di katakana sebagai pemilu paling kompleks. Bagaimana tidak, di Indonesia pemilu dilaksanakan dalam satu hari secara serentak, sedangkan di India pemilu berlangsung selama 38 hari. 

Begitu juga Pemilihan Presiden (Pilpres) di Amerika Serikat tidak langsung dipilih oleh pemilih langsung, akan tetapi terlebih dahulu di pilihnya Dewan pemilih yang akan mewakili rakyat.

Sebagai gambaran bahwa pemilu di India dengan jumlah pemilih sebesar 900 juta orang di laksanakan dalam 6 tahapan. Begitu juga di Amerika Serikat dengan 214 juta pemilih terlebih dulu memilih dewan pemilih sebagai wakil rakyat untuk menentukan calon presiden. 

Sedangkan di Indonesia dengan 194 juta pemilih di laksankan dalam waktu 1 hari dengan sekaligus memilih presiden dan wakil presiden, calon legislative secara bersamaan.

Tensi politik tentu tidak jauh berbeda, begitu juga euphoria dan pesta demokrasi baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Dari kampanye negative hingga berkembangnya berita bohong turut membumbui iklim demokrasi hingga ke seluruh lapisan masyarakat. 

Yang membedakan adalah bahwa di Indonesia semua rakyat langsung memilih Presiden maupun Wakil Rakyat baik di DPD, DPR RI, DPRD Provinsi hingga DPRD Kabupaten di laksanakan secara serentah dalam waktu yang sama.

Maka wajar jika pemilu 2019 ini di sebut sebagai pemilu paling rumit di Dunia. Bagaimana tidak rumit? Dalam satu waktu rakyat harus memilih 5 orang dengan tanda dan ciri berbeda-beda, baik tanda gambar maupun warna kertas suaranya. 

Memilih calon presiden (Capres) mungkin lebih mudah, karena hanya cukup memilih satu diantara dua gambar Capres dan Cawapres yang sudah familiar bagi masyarakat. 

Karena setiap hari terus di publikasi di semua lini sumber informasi, baik di televisi sebagai berita, maupun di media sosial dalam bentuk meme, foto, video maupun dalam kehidupan sehari-hari di warung kopi.

Sedangkan  dalam memilih calon legislative (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPD), masyarakat harus memilih satu diantara puluhan kandidat. Dengan no urut dari mulai no 21 dan seterusnya hingga no diatas no 50 atau bahkan 60 urutan . Itu pun masih mending karena ada gambar orang yang nantinya akan di pilih, meskipun kebanyakan caleg DPD ini adalah orang asing yang tidak pernah sempat bertatap muka di daerah pemilih bahkan gambarpun tidak sampai ke desa-desa.

Hal ini sedikit bisa di maklumi karena  cakupannya adalah dalam satu provinsi dan tidak semua caleg DPD orang yang mampu tampil di televisi untuk pasang iklan. Bagi provinsi dengan penduduk terpusat di Kota atau wilayahnya relative kecil seperti Bali, dan  Yogyakarta mungkin masih bisa terjangkau untuk sosialisasi hingga ke Desa. Namun tidak lah semudah itu bagi caleg yang ada di provinsi dengan jumlah penduduk padat seperti Jabar, Jateng, Jatim atau daerah yang luas wilayahnya membentang luas seperti papua, aceh dan daerah di luar jawa pada umumnya.

Tidak hanya sampai pada Caleg DPD, masyarakat pun kambali di buat bingung dengan banyaknya nama-nama caleg dari puluhan partai politik (parpol),  dengan level serta warna surat suara yang berbeda. Rumitnya cara memilih wakil rakyat inilah yang pada akhirnya menjadi penyebab tingkat partisipasi yang lebih rendah di banding dalam pilihan pilpres. Selain memang gaungnya pilpres terlihat lebih semarak, kuatnya dorongan emosional para pendukung dan simpatisan dalam mengekspresikan dukungan secara tidak langsung telah mempolarisasi masyarakat ke dalam dua kelompok yang saling berseberangan.

 Kerasnya pertaruangan politik di 2019 ini pula yang telah membelah para pendukung  sehingga hujat menghujat terutama di media sosial menjadi sajian harian . Realita inilah yang membedakan pemilu 2019 ini dengan pemilu yang pernah di selenggarakan sebelumnya. 

Diperparah lagi dengan tingkah laku para elit politik yang bukannya meredakan suasana, malah bisa di sebut sebagai angina sepoy-sepoy  dalam memanaskan bara di masing-masing pihak untuk saling menjatuhkan.

Banyaknya berita bohong atau hoak yang sebelumnya asing, kini menjadi santapan sehari-hari di media sosial seperti halnya istilah kampret dan cebong. 

Maka tidak heran jika sekarang ada gelar lain yang melekat pada elit politik yang merupakan reaksi dari tingkah laku oknum tersebut. Orang seperti ratna sarumpat yang dulu kritis sebagai aktivis, kini bahan olokan dan cercaan di media sosial.

Beban berat tentunya di tanggung oleh pihak penyelenggara pemilu dari mulai komisi pemilihan umum (KPU) pusat, KPU Provinsi, KPU Kabupaten terutama di tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). 

Saking beratnya beban dan tanggungjawab yang harus di pikul oleh petugas di tingkat TPS ini. Hingga tulisan ini di buat, sudah tercatat 119 orang petugas KPPS meninggal dunia, dan 548 orang sakit yang tersebar di 25 Provinsi di seluruh Indonesia.

Rata-rata yang meninggal di akibatkan oleh faktor kelelahan, hal ini di sebabkan karena adanya urutan tugas yang terus berlanjut tanpa jeda. Petugas KPPS bekerja hampir seminggu sebelum hari H dengan melaksanakan pengumuman dan sosialisasi. Lalu, 3 hari sebelum hari H, harus mendistribusikan surat C 6 yang berisi panggilan memilih. Mereka menyalin nama pemilih di DPT ke C6 secara manual.

Mereka juga belum akan merasa tenang jika logistik pemilu belum sampai ke tangan mereka. Misalnya, logistik kotak suara hingga surat suara itu sendiri. Tidak jarang, proses persiapan itu sudah menguras tenaga, waktu dan pikiran. 

Belum rehat sejenak, pada hari H, 17 April, mereka sudah membuat TPS dan jam 06.00 mulai bertugas kemudian pukul 07.00 hingga pukul 13.00, mereka melayani proses pemungutan suara.

Jika setelah 7 jam melaksanakan pemungutan suara, bukannya jeda kegiatan pun di lanjutkan ke perhitungan suara. Dari mulai menghitung hasil pilpres, DPD, DPR RI, DPR Provinsi hingga DPR Kabupaten/kota. 

Perhitungan pun di laksanakan secara manual sehingga, jika dalam satu TPS ada 250 surat suara, maka petugas harus menghitung 5 kali 250 surat suara atau sekitar 1250 surat suara.

Perhitungan yang di laksanakan manual di lakukan dengan penuh kehati-hatian, jika ada perbedaan angka maka tidak jarang di laksanakan hitung ulang. Inilah yang menjadi pekerjaan besar bagi petugas di KPPS dengan durasi kerja, mulai dari pagi sampai pagi lagi. Pekerjaan yang luar biasa ini sebenernya tidak sebanding dengan honor nya yang hanya 500 ribu.

Di samping beban yang berat ini kadang petugas KPPS ini di perberat lagi dengan banyaknya tuduhan tentang kecurangan.  Padahal mereka sudah Lelah, tapi karena ramainya tuduhan tentang kecurangan, tidak sedikit hal tersebut semakin memberikan tekanan batin bagi para penyelenggara pemilu. Hal inilah yang terkadang semakin memberikan tuntutan supaya pekerjaan di laksanakan serapih mungkin. 

Yang akibatnya petugas kurang istirahat sehingga kondisi badan yang di paksakan inilah yang pada umumnya berujung pada banyaknya petugas KPPS yang meninggal dunia dan harus di larikan ke rumah sakit.

Pada kesempatan inilah, kiranya penulis mengajak kepada para pembaca yang Budiman. Bukan malah menyerang dengan isu-isu hoax yang tidak di perhitungkan terlebih dahulu akan dampak yang di timbulkan dari reaksi yang berlebihan akibat kandidat yang diusung tidak mendapat kemendangan. 

Akan tetapi mari kita hargai jerih payah panitia yang telah mengorbankan tenaga bahkan tidak sedikit nyawa yang melayang demi turut berpartisipasgi dalam pembangunan demokrasi menuju kesejahtaeraan masyarakat ini.  

Agar kita dapat menyikapi proses pelaksanaan tahapan pemilu ini dengan bijak dan penuh apresiasi bagi pihak penyelenggara yang sudah berjatuhan korban. Agar pemilu yang dihasilkan menjadi pilar demokrasi yang lebih bermartabat.

Untuk kedepannya  sekiranya banyak korban yang timbul sebagai akibat dari pemilu yang di laksanakan secara serentak ini, maka pola ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi para pengambil kebijakan untuk pemilu yang akan datang. 

Agar pesta demokrasi yang seharusnya menjadi hajat bersama seluruh rakyat bukan justru menjadi malapetaka bagi masyarakat itu sendiri.

Wallohu 'alam bissowab..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun