Mohon tunggu...
M. Nur Laili Dwi Kurniyanto
M. Nur Laili Dwi Kurniyanto Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Managing Partner Sui Iuris Law Office

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

PendidikanTinggi dan Mesin Pencetak Uang

25 Juli 2016   21:33 Diperbarui: 1 Agustus 2016   14:02 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masih teringat dengan Opini "Orang Miskin Dilarang Sakit", opini yang tidak hanya sekedar opini melainkan menggambarkan fakta secara gamblang dan nyata akan sebuah fenomena yang tengah terjadi disebuah negara yang subur dengan sumber daya alamnya yang melimpah.Opini tersebut seolah menampar wajah pemerintah dan sekaligus menyuarakan isi hati saudara-saudara kita yang kurang berkecukupan dari segi finacial sehingga tidak mampu mendapatkan pelayanan kesehatan secara maksimal mengingat kondisi dan biaya kesehatan di Indonsia cukup mahal.

Berangkat dengan ulasan di atas, penulis hanya ingin menganalogikan pendidikan dengan kesehatan, mengingat kedua hal tersebut merupakan kebutuhan primer yang sejatinya harus terpenuhi bagi setiap orang dalam sebuah komunitas masyarakat madani.Selain itu setiap orang tua yang ada di dunia tanpa memandang kasta pastilah mendambakan anaknya dapat tumbuh berkembang dengan baik dan mengenyam pendidikan yang tinggi.  Pendidikan adalah unsur yang sangat substansial terhadap pembentukan karakter seseorang, pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Oleh sebab itulah pemerintah menjadikan pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam strategi pembangunan nasional dan sudah menjadi tugas dan cita cita pemerintah untuk menjamin masyarakatnya memperoleh pendidikan yang layak (tertuang dalam Pembukaan UUD 45 alinea 4).  

Hal itu terbukti dengan pemerintah telah menyediakan berbagai beasiswa untuk anak-anak berprestasi dan kurang/tidak mampu, maupun anak-anak dengan prestasi khusus yang ingin mengenyam pendidikan tinggi, selain itu sistem pembiayaan di Perguruan tinggipun telah disetting sedemikian rupa sehingga akan membentuk suatu sistem subsidi silang agar biaya pendidikan dapat terdistribusikan sesuai dengan kemampuan masing-masing, inilah yang sering kita sebut sebagai UKT. 

Namun sayangnya fakta dilapangan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan/idealita, tidak semua anak kurang mampu di negara ini mendapatkan beasiswa yang disediakan oleh pemerintah, ditambah dengan biaya kuliah semakin mahal sehingga susah dijangkau oleh kalangan menengah kebawah. Uang kuliah Tunggal yang sejatinya sudah disesain sedemikian rupa supaya dapat memberikan dampak subsidi silang malah semakin memberatkan calon mahasiswa. Paradigma masyarakat terhadap sekolah negeri yang dulu terkenal murah berubah seketika menjadi momok karena bayangan akan mahalnya beaya kuliah disana.Para Calon mahasiswa miskin yang memiliki kemampuan pas - pasanpun seperti kehilangan asa ketika harapan untuk mendapat beasiswa diganjal dengan syarat prestasi akademik yang harus dimilikinya, disamping itu mereka juga harus bersaing dengan teman-teman yang senasib untuk memperebutkan jumlah beasiswa yang terbatas. Hal tersebut sungguh menjadi suatu ironi mengingat kemauan kemampuan para mahasiswa tersebut untuk merubah nasib kehidupannya harus terganjal dengan masalah yang seharusnya tidak mereka pikirkan. 

Hal-hal itulah yang menjadikan pikiran penulis gundah dan timbul banyak pertanyaan, apakah benar opini "Orang Miskin DIlarang Sakit" tersebut bermetamorfosis ke dunia pendidikan menjadi orang miskin dilarang kuliah? Apakah Perguruan tinggi hanya mampu dinikmati oleh orang-orang pintar dan memiliki kemampuan financial yang cukup?.  pertanyaan-pertanyaan tersebut hingga sekarang masih belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dan malah semakin menyakinkan penulis terhadap jawaban yang negatif mengingat adanya sepenggal kisah tragis yang dirasakan oleh salah satu calon penerus generasi bangsan. Ketika ada seorang mahasiswa yang tidak mampu membayar UKT, dimanakah pemerintah? kampus bisa apa? apakah harus menunggu tenar agar mendapat donasi dari netizen? mana beasiswa yang engkau janjikan wahai pemerintah?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun