Mohon tunggu...
Mas 4lex Doank
Mas 4lex Doank Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya Pada Umumnya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perubahan Perspektif Gender Melalui Media, Sebuah Pandangan atas Gerakan Feminis di Indonesia

5 April 2024   14:45 Diperbarui: 5 April 2024   15:37 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Feminisme gerakan sosial dan politik yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan gender dalam segala  aspek  kehidupan (Ilaa,  2021). Atau yang lebih mudah di pahami sebagai sebuah gerakan yang menuntut emansipasi dan kesamaan hak dengan laki-laki telah berkembang sejak Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh tokoh seperti Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah Revolusi Amerika pada tahun 1776 dan Revolusi Prancis pada tahun 1792, muncul kesadaran akan ketidakadilan sosial terhadap kaum perempuan, pada masa itu perempuan dari berbagai lapisan masyarakat tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam hal pendidikan, partisipasi politik, kepemilikan, atau bahkan pekerjaan. Sebagai hasilnya kedudukan perempuan dalam hukum dan masyarakat tidak setara dengan laki-laki, pada tahun 1785 didirikanlah perkumpulan masyarakat ilmiah pertama untuk perempuan di Middelburg, menandai awal perjuangan perempuan untuk kesetaraan.

Gerakan feminis di Indonesia telah menjadi bagian integral dari perkembangan sosial dan budaya negara ini. Seiring dengan perubahan media, terutama dalam era digital, pengaruh gerakan ini semakin meluas dan menciptakan perubahan dalam perspektif gender, gerakan feminisme di Indonesia sendiri telah dipengaruhi oleh berbagai faktor historis seperti perjuangan bangsa, program pembangunan nasional, globalisasi, reformasi, dan kehidupan religius masyarakat. Dalam esai ini akan mengeksplorasi bagaimana gerakan feminis telah membentuk dan dipengaruhi oleh media, serta dampaknya terhadap masyarakat Indonesia.

Saat menyoroti pandangan feminisme di Indonesia fokus utamanya adalah pada kondisi kerja berbagai jenis buruh, seperti buruh batik, buruh industri tekstil, petani, dan tenaga kerja wanita yang diekspor (TKW). Masalah tenaga kerja wanita semakin terlihat sejak era industrialisasi mencapai daerah perkotaan. Krisis ekonomi pasca reformasi pada Mei 1999 memperparah situasi, menyebabkan pengangguran tinggi, meningkatnya jumlah anak jalanan, dan kriminalitas. Dengan proporsi tenaga kerja wanita di sektor industri mencapai 47,5% ini menandakan beban yang sangat signifikan ditambah lagi dengan adanya pengaruh perkembangan teknologi informasi dalam era globalisasi yang membawa manfaat sekaligus tantangan baru bagi perempuan.

Sebelum memahami hubungan antara gerakan feminis dan media di Indonesia, penting untuk mengidentifikasi apa yang dimaksud dengan gerakan feminis itu sendiri. Gerakan feminis adalah gerakan sosial yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Di Indonesia, gerakan feminis telah berakar sejak awal abad ke-20, tetapi mendapat momentum yang lebih besar pada era Reformasi tahun 1998. Gerakan ini mengadvokasi hak-hak perempuan, termasuk hak atas pendidikan, pekerjaan, kesehatan reproduksi, dan partisipasi politik. Feminisme sering kali dipahami sebagai gerakan yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk melawan ketidakadilan gender. Banyak yang percaya bahwa ketidakadilan gender hanya merugikan perempuan karena mereka selalu berada di bawah dominasi laki-laki, yang mengakibatkan keterbatasan dalam kehidupan sosial, namun stereotip yang muncul karena budaya patriarki telah membuat peran gender menjadi sulit bagi kedua belah pihak. Feminisme tidak bisa hanya memerlukan dukungan perempuan untuk membebaskan diri dari tekanan patriarki, tetapi juga memerlukan keterlibatan laki-laki di dalamnya. Untuk mewujudkan kesetaraan gender, partisipasi aktif keduanya diperlukan, organisasi yang dipimpin oleh kaum laki-laki dengan pemahaman feminis sangat dibutuhkan untuk mempromosikan sudut pandang yang menghargai kesetaraan manusia tanpa memandang jenis kelamin.

Mulailah media massa menunjukkan kegunaannya, Media memiliki peran sentral dalam menyebarkan pesan-pesan gerakan feminis kepada masyarakat luas. Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, media massa seperti televisi, radio, dan internet telah menjadi saluran utama untuk menyuarakan isu-isu feminis. Misalnya, melalui program televisi dan situs web berita, para aktivis feminis memperjuangkan hak-hak perempuan dan menyebarkan kesadaran akan isu-isu gender, Salah satu fokus utama gerakan feminis adalah memperjuangkan representasi yang adil dan positif bagi perempuan dalam media, namun meskipun ada kemajuan dalam hal ini, masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Stereotipe gender yang terus dipertahankan oleh industri media seperti gambaran perempuan sebagai objek seksual atau hanya sebagai ibu dan istri masih sering muncul dalam program-program televisi, film, dan iklan. Oleh karena itu, gerakan feminis terus berjuang untuk merubah narasi yang menekankan keberagaman dan kompleksitas pengalaman perempuan. Gerakan feminis juga telah berhasil menciptakan ruang publik yang lebih inklusif bagi perempuan dalam media. Melalui konferensi, forum diskusi, dan kampanye online, perempuan memiliki kesempatan untuk berbicara tentang pengalaman mereka, membagikan kisah inspiratif, dan mengatasi stigma yang terkait dengan isu-isu gender. Ini memungkinkan perempuan untuk memiliki pengaruh yang lebih besar dalam pembentukan opini publik dan kebijakan pemerintah, walau begitu meskipun media digital telah membuka lebih banyak kesempatan bagi perempuan untuk menyuarakan pendapat mereka, tantangan baru juga muncul, misalnya fenomena perundungan daring atau cyberbullying dapat menjadi hambatan bagi perempuan yang ingin bersuara secara daring.

Pernah terjadi sebuah kontroversi di masyarakat terkait sebuah adegan intim antara seorang selebriti perempuan dan seorang pria. Reaksi kemarahan masyarakat dipicu oleh perilaku selebriti tersebut, yang menyoroti ketidaksetaraan dalam perlakuan media terhadap pemeran pria dan perempuan dalam berita. Media cenderung hanya menyebut nama pemeran pria dengan inisial, sementara nama lengkap pemeran perempuan dipublikasikan secara terang-terangan. Hal ini menunjukkan bahwa media sering kali memperlakukan perempuan sebagai objek, baik dalam konten iklan maupun konten berita yang mengandung unsur erotis. Konten-konten erotis, termasuk adegan ciuman dan hubungan intim, secara luas tersebar di berbagai situs dan film, serta digunakan dalam industri film dan iklan di internet. Fenomena erotika dalam media massa menjadi pilihan karena dianggap dapat menghasilkan keuntungan finansial yang besar. Seiring dengan itu keadaan menjadi semakin lumrah perempuan sering kali merasa terdorong untuk menampilkan citra erotis demi mendapatkan keuntungan finansial, seperti mendapatkan gaji yang besar dalam peran sebagai objek erotis dalam media massa, seperti dalam iklan sabun, shampo, atau kondom (Syaifudin, 2020). Standar kecantikan yang ditetapkan oleh masyarakat juga memainkan peran penting, di mana semakin mendekati standar tersebut, semakin besar peluang perempuan untuk mewakili nilai 'kehangatan' yang diinginkan konsumen dalam suatu produk, seperti  yang  dikatakan oleh Baudrillard (2011) melalui bukunya yang berjudul Masyarakat Konsumsi, tentang kecantikan fungsional bahwa kecantikan adalah syarat mutlak, karena ia juga berfungsi sebagai modal (Baudrillard, 2011). Oleh karena itu pandangan tentang peran uang dalam merefleksikan dan mengubah segala hal, termasuk pandangan terhadap perempuan dan tubuhnya dalam konteks erotika media massa (Ritzer & Goodman, 2009). Keduanya terkesan relevan dalam konteks ini.

Kesimpulan:
Dalam konteks gerakan feminis di Indonesia, media memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk opini publik dan menyuarakan aspirasi perempuan. Melalui penggunaan media massa dan digital, gerakan feminis telah berhasil memperjuangkan hak-hak perempuan dan menciptakan ruang publik yang lebih inklusif. Sayangnya di Indonesia perjuangan menuju kesetaraan gender masih berada dalam tahap yang belum mencapai puncaknya. Masyarakat masih terlibat dalam perdebatan mengenai peran yang seharusnya dimiliki oleh perempuan, juga masih ada tantangan yang harus dihadapi, termasuk stereotip gender yang persisten dalam industri media, serta fenomena perundungan daring yang menghambat partisipasi perempuan dalam ruang digital, hal ini tidak dapat dipungkiri karena ada sebagian perempuan yang memang menolaknya (Djilzaran, 2021). padahal ini bisa berujung pada tindakan kekerasan, oleh karenanya gerakan feminis ini tidak bisa hanya dilakukan oleh perempuan namun juga keikutsertaan laki-laki sehingga masyarakat dapat memandang kesetaraan gender sebagai tanggung jawab bersama tanpa memperhitungkan gender, dengan terus menghadirkan narasi yang inklusif dan memperjuangkan hak-hak perempuan gerakan feminis di Indonesia dapat menjadi kekuatan yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi semua gender.

DAFTAR PUSTAKA

Baudrillard, J. P. (2011). Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Djoeffan, S. H. (2001). Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang. Mimbar: Jurnal Sosial dan Pembangunan, 17(3), 284-300.

Ilaa, D. T. (2021). Feminisme dan Kebebasan Perempuan Indonesia dalam Filosofi. Jurnal Filsafat Indonesia, 4(3), 211. https://doi.org/10.23887/jfi.v4i3.31115.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun