Di tengah tantangan perubahan iklim dan dinamika geopolitik global yang memengaruhi pasokan pangan dunia, Indonesia memiliki "emas hijau" yang terpendam di lahan-lahan basahnya: sagu (Metroxylon sagu). Tanaman asli Nusantara ini bukan sekadar sumber karbohidrat, melainkan pilar strategis yang dapat memperkokoh kedaulatan pangan nasional jika dikelola dengan serius dan berkelanjutan. Pengembangan sagu secara masif adalah langkah logis untuk diversifikasi pangan, mengurangi ketergantungan pada beras, dan memberdayakan ekonomi lokal.
Sagu: Raksasa Pangan yang Terabaikan
 Sagu merupakan salah satu tanaman penghasil pati paling produktif di dunia. Satu hektar kebun sagu mampu menghasilkan 20-40 ton pati kering per tahun, jauh melampaui produktivitas padi yang rata-rata hanya 6-8 ton per hektar per tahun (Bintoro, 2017). Keunggulan sagu tidak berhenti di situ. Tanaman ini memiliki daya adaptasi luar biasa terhadap lahan marjinal, seperti rawa dan tanah gambut, yang tidak cocok untuk sebagian besar tanaman pangan lainnya.
Secara nutrisi, sagu adalah sumber energi yang kaya karbohidrat. Meskipun kandungan proteinnya rendah, teknologi pengolahan modern memungkinkan fortifikasi atau pengayaan gizi pada produk turunan sagu. Tepung sagu juga secara alami bebas gluten (gluten-free), menjadikannya alternatif yang sangat baik bagi penderita penyakit celiac atau intoleransi gluten (Rauf et al., 2021). Dari sisi ekologis, ekosistem sagu berperan penting dalam menjaga keseimbangan hidrologis, mencegah intrusi air laut, dan menyimpan karbon dalam jumlah besar.
Peran Strategis Sagu dalam Kedaulatan Pangan
 Kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak setiap bangsa untuk menentukan kebijakan pangan sendiri tanpa intervensi dari pihak luar. Dalam konteks ini, sagu menawarkan beberapa solusi konkret:
Diversifikasi Pangan: Ketergantungan Indonesia pada beras sangat tinggi. Sagu dapat menjadi substitusi atau komplementer yang kuat. Produk olahan seperti mi sagu, beras analog sagu, dan aneka kue basah berbasis sagu dapat mengurangi tekanan pada pasokan beras.
Ketahanan terhadap Krisis Iklim: Sagu terbukti lebih tangguh menghadapi perubahan iklim. Kemampuannya tumbuh di lahan basah membuatnya tahan terhadap banjir, sementara sistem perakarannya yang dalam membantunya bertahan saat kekeringan singkat (Flach, 1997).
Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Pengembangan industri sagu dari hulu ke hilir akan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat di wilayah sentra sagu, seperti Papua, Maluku, dan sebagian Sulawesi serta Riau. Ini sejalan dengan prinsip kedaulatan pangan yang menekankan pada penguatan produsen pangan lokal.
Mengurangi Impor Gandum: Indonesia adalah salah satu importir gandum terbesar di dunia. Tepung sagu dapat digunakan sebagai bahan substitusi parsial atau total dalam industri roti dan mi, sehingga secara signifikan dapat mengurangi devisa negara yang keluar untuk impor.
Tantangan dan Arah Pengembangan