Mohon tunggu...
Ma'ruf M Noor
Ma'ruf M Noor Mohon Tunggu... -

Patriot Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral | Nunukan - Kalimantan Utara | Kaimana - Papua Barat

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Senyum Percaya Diri dengan Mengunyah Pinang dan Sirih

15 September 2016   12:48 Diperbarui: 15 September 2016   12:55 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seminggu pertama di Kampung Bamana, saya masih sering bingung membedakan siapa nama pemilik wajah yang tersenyum ramah kepada saya. Bagi yang pernah ke Papua mungkin paham dengan situasi dan tantangan orientasi sosial yang dihadapi oleh pendatang dalam hal mengindetifikasi wajah. Semua wajah nyaris serupa, hanya potongan rambut yang kadangkala membuat perbedaan jelas di antara wajah-wajah itu. Begitupun dengan wajah ceria riang gembira anak-anak asli Papua. Wajah anak-anak itu sungguh sulit dibedakan, anak laki-laki dan perempuan sama manis senyumnya, sama pendek dan geriting rambutnya, sama hitam kulitnya, sama-sama lincahnya bermain kesana dan kesini.

Kampung Bamana sendiri adalah salah satu kampung pesisir di Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Letaknya hampir tepat di bagian leher Pulau Irian yang menyerupai burung itu. Kampung yang tak punya akses jalur darat, kampung yang hanya dapat didatangi dengan mengarungi Lautan Arafuru. Tentunya, kampung ini termasuk ke dalam kampung yang terisolasi dari peradaban.

Sebagaimana kebiasaan orang pesisir, pantai dijadikan lahan luas untuk membuang apapun jenis sampah. Pantai di Papua dianggap tidak akan tercemar hanya karena limbah rumah tangga yang tidak seberapa itu. Membuang sampah dimana saja tidak jadi masalah, tidak akan bikin banjir seperti di Jawa sana. Seperti itulah persepsi masyarakat di kampung pesisir Papua itu. Dan saya menyaksikan sendiri bibir pantai yang sebenarnya sudah tercemar oleh limbah rumah tangga masyarakat sendiri.

Saya pernah suatu hari disuruh membuang sampah oleh bapak piara saya di kampung itu, dada saya berdebar sebab sampah atau limbah rumah tangga itu sepertinya tidak ada pilihan lain kecuali harus dibuang ke pantai. Ketika saya tanya, sampah dibuang kemana, ditunjuknya laut oleh bapak piara saya itu. Saya tahu, di tumpukan sampah yang akan saya buang itu ada sampah plastik yang tidak mungkin terurai dengan cepat. Maka, dengan inisiatif sendiri tumpukan itu tidak langsung saya buang ke laut, melainkan saya sortir sampah plastiknya lalu saya bakar dan limbah organiknya barulah saya buang ke laut.

Besoknya, saya membuat tempat sampah dari kardus bekas untuk menampung sampah plastik. Tidak lama, anak dari bapak piara saya meminta untuk dibuatkan tempat sampah yang akan diletakkan di teras rumah. Saya tahu, kebiasaan bersih harus dimulai dari diri sendiri dulu. Setelah berhasil membuat tempat sampah, saya saat ini sedang menginisiasi kegiatan pengolahan limbah sampah di kalangan anak-anak dengan membuat kerajinan tangan dan hiasan dinding. Sebab, terus menerus membakar sampah juga punya dampak negatif terhadap lingkungan. 

Di pagi hari, saya suka menyapu halaman rumah yang biasanya dipenuhi sampah bekas bermain anak-anak atau dedaunan yang jatuh dari pohon di depan rumah. Anak-anak di kampung belum memahami konsep membuang sampah di tempat yang semestinya, makanya sering saya perlihatkan ketika saya memakan permen, bungkus permennya saya kantongi dulu sampai di rumah baru saya letakkan di tempat sampah. Suatu saat anak-anak ini akan paham dengan cara senantiasa memberikan contoh budaya bersih dan tidak membuang sampah sembarangan.

Di sore hari saya suka berjalan-jalan di kampung, sebab dengan begitu saya bisa mengukur keramahan orang-orang di kampung. Siapa saja yang saya temui atau berpapasan dengan saya di jalan, maka seperti otomatis ujung bibir mereka tertarik ke atas untuk tersenyum dan memperlihatkan gigi mereka yang rerata kemerah-merahan.

Masyarakat Kampung Bamana juga terkenal dengan kebiasaan mengunyah sirih dan pinang. Itulah yang ternyata membuat gigi mereka pada umumnya nampak kemerah-merahan. Masyarakat percaya, dengan mengunyah sirih dan pinang gigi mereka akan bersih dan kuat. Gigi tidak perlu putih untuk dikatakan bersih kan? Kira-kira seperti itulah persepsinya. Maka tak ayal, anak-anak mereka sedari kecil sudah diajar untuk mengunyah pinang dan sirih.

Suatu hari ketika saya kumpulkan anak-anak di kampung untuk belajar dan bermain bersama di pinggir pantai, saya minta anak-anak berfoto dan memperlihatkan gigi mereka, hasilnya nampaklah gigi anak-anak itu yang kemerah-merahan. Saya bilang ke anak-anak itu, "kalian boleh mengunyah pinang dan sirih, tapi kalian tidak boleh lupa menyikat gigi". Lalu saya nampakkan gigi saya sebagai contoh gigi yang putih karena rajin menyikat gigi. Meski begitu, senyum anak-anak itu selalu menampilkan kesejatiannya sebagai bocah Papua. Saya percaya, kelak bocah-bocah inilah yang akan mencitrakan Papua yang murah senyum percaya diri dan bersih. Bocah-bocah yang terus mengunyah pinang dan sirih tetapi tak lupa bersikat gigi. Bocah-bocah yang tentunya juga akan menjadi ragam wajah Indonesia yang ramah. Sebab senyum Papua adalah senyum Indonesia.

Tulisan ini sebagai bentuk dukungan terhadap pelaksanaan Gerakan Budaya Bersih dan Senyum (GBBS) oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko Maritim) yang sudah dimulai sejak 19 September 2015 dan sejalan dengan Gerakan Nasional Revolusi Mental.

Penulis saat ini masih di Kampung Bamana, Kaimana sebagai salah satu Patriot Energi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Penulis juga dapat dihubungi di akun Facebook Ma'ruf M Noor dan akun Twitter @marufmnoor.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun