Mohon tunggu...
Hattasal Maruf
Hattasal Maruf Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya

Mahasiswa yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Euforia Mengaburkan Esensi: Dekadensi Moral dalam Lomba 17-an

22 Juli 2025   11:54 Diperbarui: 22 Juli 2025   12:10 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap tahun, bulan Agustus hadir membawa euforia nasionalisme yang nyaris seragam: jalan-jalan dihias semarak, lagu-lagu perjuangan menggema, dan berbagai lomba digelar dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Perayaan ini merupakan bentuk ekspresi kolektif rakyat yang seyogianya merepresentasikan semangat perjuangan, solidaritas sosial, dan nilai-nilai luhur kebangsaan. Namun ironisnya, beberapa tahun terakhir, banyak perlombaan 17-an justru mencerminkan kecenderungan dekadensi moral dan disorientasi nilai.

Fenomena ini bukan sekadar penyimpangan kecil, melainkan sebuah gejala sosial yang memperlihatkan bagaimana nilai kemerdekaan direduksi menjadi sekadar hiburan banal, hiburan yang tak jarang melampaui batas kesopanan, etika, bahkan norma kesusilaan. Dalam beberapa konten yang viral di media sosial, seperti TikTok, terlihat bagaimana sejumlah perlombaan menampilkan adegan-adegan yang tidak hanya vulgar, tetapi juga berpotensi merusak nilai-nilai pendidikan karakter. Sebut saja: estafet sedotan dengan mulut antar peserta (baik sesama maupun lawan jenis); lomba memecahkan balon menggunakan organ vital seperti pantat atau bagian kemaluan; adu cepat memakai celana dalam wanita tanpa tangan yang diikuti oleh peserta laki-laki dewasa; hingga lomba memompa balon panjang dengan posisi pompa di antara paha, menciptakan gerakan-gerakan yang secara visual tidak etis dan potensial menimbulkan salah tafsir seksual.

Tindakan-tindakan seperti ini menunjukkan adanya kemunduran dalam sensitivitas moral dan estetika. Tubuh, seksualitas, dan rasa malu dijadikan tontonan massal yang dibungkus dengan label "kreativitas." Saat muncul suara-suara kritis, tak jarang respons yang muncul justru menggampangkan, seperti menyebut bahwa keberatan itu hanya soal "pikiran yang terlalu jauh." Respons semacam ini, meskipun terdengar sepele, sebenarnya mengandung pembelaan terhadap kebanalan, seakan-akan tanggung jawab atas makna hanya menjadi urusan pribadi, bukan hasil dari konstruksi sosial yang kita bangun bersama.

Namun, mari kita akui dengan jujur: sekalipun kita berasal dari latar belakang usia, wilayah, atau pendidikan yang berbeda-beda, kita sebenarnya tahu persis apa yang sedang terjadi. Kita memang bukan keluarga, mungkin juga belum pernah bertemu sebelumnya. Tapi anehnya, persepsi kita sering kali seragam. Buktinya? Kita tertawa pada momen yang sama. Gelak tawa itu bukan sekadar ekspresi spontan, tapi cerminan bahwa kita memahami dan menyetujui makna tertentu secara kolektif. Dan ketika yang kita tertawakan adalah tindakan yang merendahkan harkat kemanusiaan, pada saat itulah kita tanpa sadar turut menyuburkan kebanalan sebagai sesuatu yang biasa dan dapat diterima.

Pada dasarnya perlombaan rakyat memiliki potensi sebagai sarana pendidikan non-formal yang efektif dalam membentuk nilai kerja sama, sportivitas, dan kepemimpinan. Namun ketika perlombaan justru disusun tanpa landasan pedagogis dan etik, maka yang terjadi adalah banalitas, kekosongan makna yang dikemas dalam kemeriahan. Hal ini mengindikasikan gejala degradasi simbolik, di mana simbol-simbol perjuangan (seperti panjat pinang, lomba balap karung, dsb.) tidak lagi dimaknai secara reflektif, tetapi sekadar menjadi rutinitas yang kehilangan substansi.

Realitas semacam ini semestinya menjadi peringatan bersama. Di tengah generasi muda yang tumbuh di era digital dan banjir informasi, pesan-pesan simbolik yang tersampaikan dalam perayaan kemerdekaan sangat berpengaruh dalam membentuk persepsi kolektif mereka tentang makna kemerdekaan. Ketika perlombaan diisi dengan tontonan yang menjauh dari nilai-nilai perjuangan dan justru merendahkan martabat kemanusiaan, maka yang tercipta bukanlah semangat nasionalisme, melainkan sinisme yang terbungkus gelak tawa.

Kemerdekaan tidak semata-mata dimaknai sebagai lepasnya belenggu penjajahan secara fisik, tetapi juga sebagai momentum untuk melepaskan diri dari belenggu kebodohan, kemerosotan akhlak, serta sikap permisif terhadap hal-hal yang menggerus integritas bangsa. Dalam kerangka itu, perayaan perlombaan 17 Agustus semestinya menjadi ruang untuk meneguhkan nilai-nilai mulia seperti kejujuran, semangat kebersamaan, penghargaan terhadap sesama, dan rasa cinta tanah air. Karena sejatinya, kejayaan sebuah bangsa tidak lahir dari gelak tawa yang hampa makna, melainkan dari pijakan yang kokoh pada nilai dan kehormatan.

Jika kita terus membiarkan perlombaan-perlombaan yang mempertontonkan hal-hal vulgar, eksploitatif, dan kontra-edukatif, kita sedang menyemai benih disorientasi moral di tengah generasi muda. Apakah kita rela menukar nilai-nilai kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata hanya demi konten viral dan gelak tawa sesaat?

Sudah saatnya masyarakat, terutama para panitia pelaksana di tingkat akar rumput, merefleksikan kembali nilai-nilai yang hendak ditransmisikan melalui setiap kegiatan. Perlombaan 17-an harus direvitalisasi, bukan dalam bentuk yang sekadar "kreatif", tetapi dalam bentuk yang transformatif, yaitu kegiatan yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mencerdaskan, menginspirasi, dan memuliakan nilai-nilai luhur bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun