Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tatkala Muridku Menulis (seri 6): Inilah Kisahku, Mana Kisahmu?

3 Desember 2015   07:52 Diperbarui: 3 Desember 2015   07:53 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Layaknya sebuah buku, belajar di sekolah adalah bab tersendiri yang menjadi satu kesatuan dari isi buku. Jika buku itu adalah sebuah analogi kehidupan ini, maka belajar di sekolah adalah bagian dari kehidupan yang penuh dengan dinamika dan estetika. Semua yang terjadi dalam hidup menjadi kisah tersediri untuk setiap manusia. Demikian pula, kisah Bernadine Auberta bersama loker dalam proses belajar makna kehidupan adalah kisah pemaknaan dari proses belajar. Celakanya, proses pemaknaan seperti ini mulai pergi dari sekolah-sekolah di negeri ini dan tergantikan dengan ambisi dan euforia pencapaian angka-angka statistik. Inilah kisah Adine dan loker.

Aku sebongkah besi berwarna abu-abu berbentuk persegi. Aku berengsel dan memiliki dua lobang ventilasi. Aku cukup berguna untuk para siswa. Namun aku juga sering disiksa. Aku memiliki dua bagian didalam tubuhku. Aku memiliki seseorang yang sudah mejadi bagian dari tubuhku, yaitu lobang kunci. Aku juga bersahabat dengan kunci. Karena hanya kunci yang dapat membukaku dan hanya aku yang dapat dibuka oleh kunci tersebut. Ya, ini aku “loker”.

Demi memudahkan anak-anak aku rela tubuhku dicoret-coret dengan spidol. Sekarang tubuhku bartuliskan nomor. Bahkan mereka dengan seenaknya mengotori tubuhku dengan tempelan stiker. Aku sering dijadikan sasaran kekesalan seperti ditendang, dipukul, bahkan di bentak. Mereka juga rering memperlakukanku dengan semena-mena seperti membuka dan menutupku dengan kasar. Apa mereka tidak tahu penderitaan yangku rasakan? Tak tahukah mereka seberapa sakit yang kurasakan?

Ingin rasanya menjadi bunga di taman yang memiliki bentuk yang indah. Banyak mata yang memandangnya. Sedangkan aku hanya seonggok besi usang yang membosankan. Atau seperti bola yang dapat menggelinding kemanapun. Sedangkan aku hanya terbujur kaku disini. Atau menjadi pohon yang selalu disiram setiap hari. Sedangkan aku dibiarkan kotor, bahkan untuk disulaki aaku harus menunggu ada siswa yang terlambat. Mereka pun akhirnya mendapat tugas untuk membersihkanku.

Tetapi apa dayaku? Aku harus menerima kehidupanku. Aku mampu memberi kenamanan untuk para siswa. Karena aku dapat menyimpan barang-barang mereka dengan tubuhku yang cukup besar ini. Mereka dapat menyimpan mulai dari buku, kamus, raket, helm, jas lab, bahkan tas mereka mampu kutampung. Pasti mereka akan kerepotan membawa barang-barangnya bila tidak ada aku. Mereka juga dapat menyadarkan tubuhnya pada tubuhku yang keras saat mereka sedang bersantai.

Walaupun kehidupanku penuh liku aku tetap merasa bangga dengan diriku. Tidak semua sekolah memiliki loker. Dan lebih beruntungnya lagi aku berada di SMA Kolese Loyola. Aku yakin SMA Kolese Loyola cukup ternama. Jadi hal yang patut aku banggakan adalah menjadi bagian dari keluarga SMA Kolese Loyola.

Aku bersama teman-temanku yang berjejer rapi di koridor Ingnatius merasa senang dan bangga menjadi loker. Bentukku memang tidak menawan. Akupun sudah tua, tidak sedikit dari teman-temanku yang sudah penyok. Tapi aku merasa sangat senang dan bangga masih mampu membantu para siswa SMA Kolese Loyola. Sekian kisahku... Apa kisahmu???

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun