Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku: Guru yang (Tidak) mau (Uang) sertifikasi

18 November 2015   07:37 Diperbarui: 18 November 2015   08:15 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menolak untuk sertifikasi, itu artinya tidak mendapat cap guru profesional sekaligus juga tidak mendapat sejumlah uang yang menggiurkan. Itulah yang dilakukan penulis, seorang guru medior pada sekolah swasta di Semarang. Dari beberapa kali panggilan untuk sertifikasi, tetap tidak mau mengikuti proses sertifikasi ala pemerintah. Satu yang ada di benaknya, “Hati nurani mengatakan sertifikasi bukanlah proses profesionalisme, tetapi proses merampas uang rakyat”.

Profesionalisme guru memang menjadi cita-cita dunia pendidikan. Guru yang profesional diharapkan mampu mengembangkan potensi anak didik sejalan dengan perkembangan dunia dan pergolakan moralitas dewasa ini. Kekuatan terbesar dalam pengembangan profesionalisme guru adalah keberhasilan belajar bagi anak didik dalam memaknai dan mengaktualisasikan segala proses belajar di sekolah.

Sertifikasi guru telah muncul beberapa tahun terakhir ini sebagai “pintu” profesionalisme guru. Akan tetapi, sertifikasi telah memporakporandakan proses belajar di sekolah karena para guru dibuat harap-harap-cemas akan nasibnya masing-masing. Format sertififikasi yang berubah-ubah dari portofolio sampai PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesionalisme Guru) terasa menambah pergolakan batin dan perubahan dinamika di sekolah. Belum lagi adanya uang sertifikasi yang terlambat cair atau bahkan tidak genap jumlahnya semakin meresahkan insan pendidik.

Benarkah semua itu demi profesionalisme? Jangan-jangan itu hanya pembohongan publik demi sebuah profesionalisme instan. Sulit dimengerti bahwa profesionalisme bisa diperoleh hanya dari portofolio atau pelatihan beberapa hari. Profesionalisme guru sama halnya dengan pendidikan, yakni merupakan sebuah proses belajar berkesinambungan dan kontekstual. Masalah semakin ruwet tatkala guru tersertifikasi tak ada pendampingan intensif lebih lanjut (baca: selesai sampai mendapat sertifikat).

Mari kita lihat lebih jujur! Jangan-jangan sertifikasi guru sama dengan mendapat sejumlah uang yang menggiurkan. Jika melihat fakta di lapangan, banyak insan pendidikan berlomba-lomba dengan berbagai cara untuk mendapatkan uang tersebut. Kembali, uang mengacaukan sistem dan nurani.

Sejalan dengan character building yang digalakkan oleh dunia pendidikan, kini saatnya dunia pendidikan pun ditantang untuk menentukan sikap terhadap model profesionalisme dengan sertifikasi yang ada. Seperti halnya, uang telah memporakporandakan hati nurani dan moralitas banyak pejabat pememerintah maupun dewan perwakilan yang terhormat dengan tindak korupsi di mana-mana, kini sadar atau tidak dunia pendidikan pun sedang diuji nuraninya.

Mengatakan TIDAK terhadap sertifikasi guru pastilah bukan hal yang mudah. Menolak untuk tidak mengikuti proses sertifikasi yang sebenarnya bukan cara yang tepat untuk mencapai profesionalisme pun pastilah tidak siap. Tidak menerima sejumlah uang yang menggiurkan sedangkan guru yang lain mendapatkannya tentunya membutuhkan mental yang kuat. Uang telah mengalahkan idealisme pendidikan dan menggadaikan nurani pendidik. Uang telah membuat banyak orang bersemangat menjadi guru (yang katanya profesional).

Kembali ke Nurani
Dari sudut pandang proses, sertifikasi jelas bukan sebuah cara untuk mencapai profesionalisme karena yang ditawarkan adalah sebuah idealisme instan layaknya minum kopi instan di cafe atau kedai kopi. Justru yang terjadi adalah pengkerdilan makna profesionalisme itu sendiri. Dari sudut pandang tujuan, sudah sangat jelas bahwa sejumlah uang yang sangat menggiurkanlah yang menjadi dambaan setiap guru yang sudah dan akan tersertifikasi.

Dari sudut pandang sistem pendidikan, sertifikasi merupakan pembodohan terencana terhadap seluruh insan pendidikan. Banyak guru berbondong-bondong mencari jam mengajar minimal demi tetap mendapatkan dana sertifikasi. Pelatihan terstruktur dilakukan sebagai sarana mencapai guru profesional namun itu semua hanya sebagai formalitas belaka. Pelatihan hanya menyentuh aspek learning design tetapi aspek integral manusia sebagai pendidik humanis tidak terolah dengan baik, seperti aspek leadership, manajemen diri, integritas pribadi, spiritualitas hidup, dan learning community. Belum lagi, pendidikan tinggi (baca:dosen) sangat diuntungkan secara finansial dengan program sertifikasi ini.

Bahkan sertifikasi dapat menjadi kesempatan membangun citra baik pemerintah yang seolah-olah berpihak pada praktisi pendidikan. Efek besar dapat dirasakan betapa cintanya insan pendidikan pada sertifikasi sehingga menyebabkan betapa cintanya insan pendidikan pada pemerintah. Cinta rakyat pada pemerintah karena cinta uang. (Uang) sertifikasi menjadi alat yang hebat untuk memikat masyarakat untuk tetap memilih.

Buka Mata, Buka Hati
Kenyataan begitu miris ketika melihat banyak anak-anak bangsa yang tidak bisa menikmati pendidikan yang layak. Begitu ironis melihat banyak daerah yang tidak memiliki fasilitas yang manusiawi untuk belajar tapi di lain sisi banyak guru menikmati kenyamanan berkat dana sertifikasi. Jujur harus dikatakan bahwa pendidikan mayoritas anak bangsa ini masih jauh terbelakang seiring hingar-bingar guru yang (katanya) profesional, sekolah favorit, dana sertifkasi, korupsi para pejabat, dan kemewahan dewan yang terhormat. Ironis, 80 triliun per tahun dihamburkan untuk dana sertifikasi ketimbang mengembangkan pendidikan anak-anak bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun