sekolah dan belajar berbagai hal dalam setiap dinamika yang ada dengan segala variasi dan gradasi materi tertentu. Seringkali anak-anak dituntut dengan tuntutan yang sama, harus menguasai hal yang sama dan diharuskan tuntas dari berbagai standar kompetensi yang ada.Â
Setiap hari anak-anak pergi keMenjadi logis dengan mekanisme dan sistem seperti itu, bahwa sekolah akan melahirkan gradasi kompetensi para siswa yang pada akhirnya jatuh pada proses labelling dalam pembelajaran, yakni ada anak pintar dengan ketuntasan nyaris sempurna, anak yang cukup dengan kompetensi standar, dan anak yang kurang mampu karena diyakini tidak bisa mencapai tuntutan kompetensi.Â
Sungguh miris sebenarnya, sekolah menjadi sebuah kesenjangan kompetensi yang memberikan dampak gap sosial.
Sekolah sejatinya menelusur kembali paradigma dan filosofi pendidikan yang humanis dan holistik, di mana pondasi dasarnya adalah anak-anak memiliki potensi yang dapat dikembangkan seiring dengan latar belakangnya yang berbeda-beda. Dunia pendidikan sejatinya mempertimbangkan konteks anak-anak dengan segala keragamannya, seperti asal keluarga, sosial tempat tinggal, latar belakang pendidikan sebelumnya, tatanan ekonomi, bahkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya. Inilah yang disebut dengan konteks dalam pendidikan, yang sesungguhnya menjadi pondasi dasar dalam pengembangan manusia seutuhnya.
Sekolah harus kembali pada kesadaran tertinggi bahwa mendesain pendidikan bukan sekadar masalah rancangan proses pembelajaran, namun lebih dari itu merancang master plan pendidikan yang siap sedia meng-cover konteks pendidikan dan mengaktualisasikannya dalam segala tujuan dan dinamikanya.Â
Sekolah bukanlah tempat menjadikan pintar anak-anak layaknya robot sehingga semua diseragamkan dalam banyak hal, namun sekolah menjadi tempat memanusiakan manusia dengan segala keragaman dan keunikannya dalam semangat humanisme kontekstual.