Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Humanis (1): Mari Bertanya, Komunikatifnya Pembelajaran

29 Agustus 2021   13:43 Diperbarui: 29 Agustus 2021   13:45 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak sekolah membiasakan anak didiknya untuk duduk-diam dengan konsentrasi tinggi mendengarkan ceramah guru. Mengerikan dan membosankan. Saatnya sekolah bertanya pada setiap guru, "Bolehkah anak-anak bertanya dan berkreasi?"

Menjelang pembelajaran berakhir, sang guru menyampaikan topik pembelajaran untuk pertemuan berikutnya, yakni tentang perkembangan bahasa di masyarakat. Dan tak lupa sang guru pun meminta anak-anak untuk menyiapkan satu pertanyaan untuk diskusi pada pembelajaran berikutnya. Tak lama kemudian bel tanda pulang sekolah pun berbunyi dan perlahan-lahan anak-anak dan sang guru meninggalkan ruang kelas setelah kata "amin" secara serentak diucapkan dalam doa penutup hari itu.

Hari berganti hari dan akhirnya tiba juga hari di mana pembelajaran bersama sang guru dimulai kembali. Anak-anak pun tampak sudah siap dengan satu pertanyaan yang akan dilontarkan dalam pembelajaran siang itu. Sang guru pun memulai pembelajaran dengan sebuah deskripsi perkembangan bahasa yang terjadi di masyarakat, seperti maraknya bahasa gaul yang kebarat-baratan, bahasa iklan yang begitu mendominasi dalam percakapan, dan juga bahasa lokal yang mulai kawin silang dengan bahasa nasional.

Seorang anak dengan suara lantang melontarkan sebuah pernyataan, "Masih perlukah bahasa Indonesia yang baik dan benar?" Seketika itu juga kelas disibukkan dengan argumen pro dan kontra tentang pertanyaan itu. Ada pihak yang dengan gigih menyatakan bahwa sebagai identitas bangsa yang beretika, maka bahasa Indonesia yang baik dan benar menjadi syarat mutlak. Teman yang lain menambahkan bahwa kepribadian suatu bangsa dapat dilihat salah satunya lewat bahasa.

Pihak yang kontra menyatakan bahwa bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak akan pernah terwujud dalam masyarakat karena yang bisa melakukannya hanya ahli bahasa saja. Selanjutnya, mereka menambahkan bahwa esensi bahasa adalah untuk berkomunikasi sehingga bahasa sebagai alat komunikasi hendaknya tidak menjebak pengguna bahasa pada aturan-aturan gramatikal yang kaku. Teman yang lain juga menambahkan bahwa yang penting dalam hidup bermasyarakat adalah bahasa yang baik, yakni sesuai dengan konteksnya. Dengan demikian, baik dalam berbahasa belum tentu benar secara gramatikal.

Itulah salah satu situasi diskusi di kelas saat pembelajaran bersama sang guru di mana anak-anak saling bertukar pendapat atas pertanyaan teman. Sebuah proses komunikasi berlangsung secara logis dan mengalir. Yang membuat sang guru kagum adalah rupanya anak-anak tidak hanya sekedar menyiapkan pertanyaan tetapi mereka juga mencari materi dari berbagai sumber atas topik yang akan didiskusikan.

Bertanya Pada Diri

Uniknya lagi, di tengah-tengah pembelajaran sang guru pun meminta kepada anak-anak untuk melontarkan pertanyaan pada dirinya masing-masing tentang perkembangan bahasa itu sendiri. Hal ini sebagai sebuah bentuk refleksi anak-anak akan fenomena yang ada. Ada anak yang membuat pertanyaan akan dirinya, "Bagaimanakah sikapku atas perkembangan bahasa ini?" Ada juga yang bertanya, "Untuk apakah aku tahu akan perkembangan bahasa ini?"

Pertanyaan-pertanyaan itu serasa membangunkan anak-anak akan keberadaan mereka sebagai bagian dari perkembangan bahasa itu sendiri. Hal ini menjadi sebuah bentuk penyadaran akan eksistensi mereka dan aksi mereka selanjutnya. Sang guru pun memberi kesempatan pada mereka mengekspresikan refleksi mereka dalam bentuk apapun, baik tulisan atau gambar.

Hal unik yang terjadi dalam refleksi itu adalah ketika sang guru melihat seorang anak membuat refleksi dengan menggambar dirinya sendiri. Yang membuat unik dari gambar itu adalah ada tulisan "Mengapa Aku harus bertanya pada diriku?" Ketika sang guru mencoba bertanya maksud dari tulisan itu, anak itu menjelaskan bahwa pertanyaan itu sesungguhnya memiliki jawaban. Ternyata anak itu sudah menulis jawabannya di balik kertas itu. Jawabannya adalah "Aku Hidup". Rupanya karena dia hidup dan berada dalam sebuah komunitas masyarakat maka anak itu menyadari bahwa bertanya pada diri sendiri adalah sebuah media untuk instropeksi diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun