Kehidupan ini penuh dengan cerita yang belum terungkap oleh kata-kata dalam sebuah sketsa. Jalan dan arah hidup sesungguhnya terancang dalam alur cerita yang berlika-liku hingga terselesaikan dalam kuasa Sang Pencipta. Cerita hidup manusia ada dalam perpustakaan-Nya.Â
Cemara Casuarina, nama cantik yang diberikan ibuku padaku. Perkenalkan, namaku Ara, aku hanyalah seorang anak remaja biasa yang hidup di sebuah desa. Seperti anak-anak lainnya, aku senang menghabiskan waktuku untuk bersepeda menjelajah perbukitan desa. Kukayuh sepedaku dengan sepenuh tenaga bersama kawan-kawanku. Menikmati sejuk dan segarnya udara di desaku. Saat matahari telah terbenam, aku akan kembali ke rumah bertemu ibu bapakku yang pulang dari sawah. Di bawah langit malam yang penuh bintang, aku selalu pergi ke teras rumah. Aku tak pernah tahu apa yang terjadi di luar sana, sebab yang kutahu hanyalah hidupku bahagia.
Di desaku ini, aku memiliki sebuah tempat rahasia di mana hanya Ori, sahabatku, dan aku yang tahu. Tempat itu adalah sebuah Menara tua yang dibangun pada zaman revolusi Belanda. Dari awal mengenal Ori, aku tahu bahwa dia adalah temanku yang paling baik hati sehingga kuajaknya untuk bersepeda ke menara itu bersama-sama.  Kami berdua menyusuri sungai serta lembah yang penuh ilalang menuju Menara itu. Kuperlihatkan kepadanya betapa indah pemandangan desa kami dari atas sana. Kulihat sebuah lintasan abu-abu bergaris putih di ujung mataku. Kami berdua tak pernah tahu tempat apa di ujung sebelah sana. Satu hal yang kami tahu, kami adalah anak paling bahagia di tempat ini.
Rasa penasaranku tak dapat terbendung. Kami berdua berlari menuju ke ujung desa untuk mengetahui tempat apa itu. Tanpa sengaja, kakiku berdarah akibat tersandung batu di balik dedaunan. Kami pun koma sejenak dari perjalanan dan berhenti di sebuah rumah penjual koran. Namun, hal itu tak menghentikan semangat kami terus melanjutkan perjalanan kami. Setelah berjalan cukup panjang, akhirnya kami sampai ke tempat yang kami tuju. Sebuah jalan yang tak bergelombang, lurus mulus berwarna abu-abu, dan terdapat garis putih putus-putus di tengahnya. Setelah bertanya, kami pun mengetahui bahwa itu adalah jalan raya. Tempat apakah ini?
Kami berdua berdiri di titik sudut jalan raya itu. Kulihat seorang wanita berjualan kue sambil membawa botol termos untuk membuat minuman. Â Warna putih di rambutnya terasa tak asing di mataku. Setelah ia memalingkan wajahnya ke depan, tidak salah lagi, dia adalah ibukku.Â
Langsung terpikirkan olehku betapa berat perjuangan beliau untuk mengeluarkan keluargaku dari lingkaran kemiskinan. Di bawah teriknya panas sinar matahari, ia duduk di samping sebuah rantai, mukanya tampak letih lesu. Aku tak menyangka, ibuku bekerja sangat keras untuk membuat diriku yang tidak memiliki arah dan tujuan ini menginjakkan kaki di halaman sekolah. Perasaan bersalah muncul dalam benakku seketika. Mengapa ia begitu sabar? Kini apakah yang harus kuperbuat? Jalan apa yang hendak kupilih sekarang?
Waktu terus berlalu, peradaban semakin maju, dan aku masih menjadi orang yang sama. Rupanya tak mudah untuk terus melangkah tanpa arah. Tahun demi tahun, kulalui hari-hariku dengan penuh penyesalan. Namun, setiap manusia memiliki batas dalam hidupnya. Hal yang ingin kulakukan sekarang adalah memperingatkan generasi penerusku. Kuambil secarik kertas dari atas meja. Sambil minum segelas teh di kursi goyang kesayanganku, kutuliskan surat untuk mereka. Aku ingin generasiku selanjutnya jauh lebih baik daripada diriku. Seperti pemanah, bidiklah arah tujuan hidupmu di masa depan sebaik mungkin. Â
Kebahagiaan bisa saja muncul di tengah perjalananmu, tetapi hal itu bisa hilang begitu saja bila kau tidak punya arah serta tujuan ke mana jalan yang hendak kautuju.
*WHy-rOSe
**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value)Â dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.Â