Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Badai Ujian Nasional Pasti (Tak) Berlalu

20 Maret 2018   08:43 Diperbarui: 20 Maret 2018   09:33 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Betapa muram dan suram pendidikan di negeri ini, kurikulum berganti-ganti tak kunjung henti hingga ujian nasional berubah-ubah konsep. Akhirnya, anak didiklah yang menjadi korban dari ketidakberesan dalam dunia pendidikan ini. Moratorium UN sesungguhnya merupakan angin segar bagi anak didik untuk menikmati pendidikan yang menyenangkan dan bermakna. Perubahan peran dan fungsi UN (sekarang: UNBK) belum juga memberikan pengalaman belajar yang sesungguhnya bagi sekolah-sekolah karena pada akhirnya di akhir menjelang kelulusan sekolah disibukkan dengan persiapan UN yang sangat mengganggu dinamika belajar. Patut disadari bahwa sudah terlalu besar dosa UN pada dunia pendidikan.

Ujian nasional telah mengingkari esensi dari sebuah evaluasi yang kontekstual dan berkesinambungan. Dalam pendidikan yang berorientasi proses hendaknya segala evaluasi termasuk ujian nasional menjadi sebuah proses pembelajaran yang berkesinambungan yang dikenal dengan assessment as learning. Tetapi, UN justru menjadi hari penghakiman bagi anak-anak di bangku sekolah. Tidak heran jika muncul kecurangan setiap pelaksanaan UN karena begitu menakutkannya UN bagi anak didik, sekolah, dan masyarakat.

Grant Wiggins dan Jay McTighe dalam bukunya Understanding by Design membuka tulisannya dengan sebuah analogi bahwa guru itu bak seorang desainer layaknya arsitektur, insyinyur, atau desain artistik. Sebagai desainer pendidikan, guru dapat mendesain kurikulum dan pembelajaran bersama peserta didik demi tujuan tertentu yang menjawab kebutuhan peserta didik dalam kehidupan nyata.

Dalam jiwa desainer pendidikan itu pula, guru juga dapat mendesain bentuk evaluasi yang sesuai dengan dengan proses pembelajaran yang telah diimplementasikan bersama peserta didik. Sebuah evaluasi yang mengenal sungguh konteks anak didik mesti dikedepankan dalam kerangka pendidikan yang sungguh-sungguh menekankan proses daripada hasil belaka. UN telah merampas hak guru mendesain pembelajaran yang kontekstual dan bermakna.

Bahkan UN telah menjadi sebuah perampokan intelektual. Amanat kurikulum (KTSP hingga 2013) adalah pada pokoknya sekolah-sekolah diharapkan mampu mengembangkan kurikulum yang kontekstual sesuai dengan keadaan dan kebutuhan anak didik di sekolah. Celakanya, usaha sekolah dalam desain pembelajarannya harus dirampas dengan ujian di akhir proses panjang pembelajaran. Ini sungguh mengerikan terjadi di dunia pendidikan yang merupakan tempat belajar sepanjang hayat dan berkesinambungan. 

Posisi UN telah membelokkan tujuan pembelajaran pada evaluasi akhir yang berorientasi materi dan bisa jadi hal itu bukan kebutuhan anak didik. Bahkan sekarang diperparah dengan adanya Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Kembali-kembali negara berperan besar dalam menghancurkan paradigma pendidikan yang seharusnya dan akhirnya pendidikan di Indonesia jatuh pada aspek akademik atau kognitif belaka.

Padahal mendesain pendidikan yang kontekstual dengan evaluasi yang sungguh mengukur proses pembelajaran yang dialami anak didik adalah sebuah aspek esensi dalam pengembangan pendiidikan. Lorraine A Ozar dalam bukunya Creating A Curriculum That Works mencoba menekankan pentingnya perubahan paradigma guru dalam mendesain sebuah pembelajaran. 

Ada kecenderungan bahwa guru lebih menekankan pada apa yang akan diajarkan sehingga terjebak pada pembelajaran berorientasi materi menurut versi guru. Padahal seharusnya guru lebih menekankan pada apa yang seharusnya anak didik pelajari dan bagaimana menyampaikannya. Dengan adanya UN (UNBK dan USBN), maka kebutuhan anak didik semakin tidak terakomodasi karena mereka akan menghabiskan banyak waktu dengan latihan soal dan pendalaman materi.

Refleksi Nasional

Ada baiknya kita sejenak merenungkan segala problematika di dunia pendidikan. Kembali mengingat dan menghadirkan tujuan pendidikan ini untuk siapa adalah awal dari sebuah kesadaran kita. Jeffrey Glanz (2006) dalam bukunya Cultural Leadership menekankan bahwa sekolah ada untuk anak didik. Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan dan sekolah khususnya ada demi kemajuan dan perkembangan anak-anak bangsa ini. Kurikulum dengan segala aspek di dalamnya seharusnya menjawab kebutuhan siswa dan sekaligus membantu siswa berkembang dengan segala keragamannya.

Dalam tataran praktis, guru dituntut sungguh mengetahui kebutuhan anak didik sehingga pembelajaran itu sungguh-sungguh bermakna. Analisis kebutuhan menjadi sebuah media guru untuk mengenal latar belakang dan kebutuhan anak didik seperti apa yang ditekankan oleh Ralph W Tyler dalam bukunya Basic Principles of Curriculum and Instruction. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun