Ada sesuatu yang unik dari cara orang Timur (khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur) untuk bekerja. "Panasnya matahari tidak"menyurutkan langkah, dan tak pernah mengalahkan semangat orang-orangnya.
Dari ladang kering hingga ruang kantor ber-AC, ada satu benang merah yang sama, yaitu: "kerja bukan sekadar mencari uang, tapi menjaga nama baik, harga diri, dan kebersamaan."
Bagi orang Timur, malu kalau tidak kerja keras, bukan sekadar ungkapan biasa. Namun, adalah sebuah prinsip hidup.
Nilai ini tertanam sejak kecil — saat anak-anak membantu orang tua di kebun, menggembala ternak, atau menimba air di tengah terik. Mereka belajar bahwa keringat adalah simbol tanggung jawab. Bahwa kerja keras bukan hukuman, tapi kehormatan.
Namun, di tengah dunia modern yang serba cepat dan digital, etos kerja ala anak Timur menghadapi tantangan baru. Dunia kini menilai kerja dari produktivitas dan efisiensi, bukan sekadar ketekunan.
Globalisasi menuntut kecepatan, keterampilan teknologi, dan kemampuan beradaptasi yang tinggi — sesuatu yang kadang masih menjadi “PR besar” bagi sebagian generasi muda di NTT.
Tapi di sinilah letak keunggulan yang sering tak disadari: solidaritas dan loyalitas.
Banyak perusahaan, lembaga, atau organisasi yang memuji pekerja asal NTT karena ketulusan dan rasa tanggung jawab mereka.
Orang Timur terbiasa bekerja bersama, saling bantu, dan menjaga harmoni dalam tim. Nilai ini lahir dari budaya gotong royong — dari tradisi du’a sa’e (doa bersama), bantaya (tolong-menolong), sampai penti atau reba yang selalu menekankan kebersamaan di atas ego pribadi.
Sayangnya, dunia kerja modern sering kali tak menilai “kerja hati” setinggi “kerja target”.
Banyak anak muda NTT yang punya integritas, tapi kalah cepat dalam adaptasi digital, kalah berani bersuara, atau kurang percaya diri saat bersaing di panggung nasional bahkan global. Padahal, kalau semangat dan nilai kerja orang Timur bisa dikombinasikan dengan keterampilan modern — itu akan jadi kekuatan luar biasa.