Mohon tunggu...
martin Loi
martin Loi Mohon Tunggu... Literasi

Menulis artikel ilmiah,opini dan puisi

Selanjutnya

Tutup

Nature

Cendana di Timor adalah Emas yang Harus Dijaga

30 Juli 2025   15:23 Diperbarui: 30 Juli 2025   15:44 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cendana bukan sekadar pohon. Bagi masyarakat Timor, khususnya di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), pohon cendana adalah simbol kehidupan, kekayaan budaya, dan warisan alam yang tak ternilai. Tak berlebihan jika masyarakat menyebutnya sebagai "emas hijau" atau "emas harum dari Timor." Pohon ini bukan hanya tumbuh di tanah, tapi juga di dalam hati orang Timor.

Makna Budaya dan Spiritual: Cendana sebagai Identitas Timor

Dalam tradisi masyarakat adat Timor, cendana memiliki tempat istimewa. Ia digunakan dalam upacara adat seperti natoni, pohon persembahan leluhur, serta bahan dupa dalam liturgi gerejawi. Ama Benu Meko, seorang tokoh adat di Belu mengatakan:

"Cendana bukan pohon biasa. Itu titipan leluhur. Kalau cendana mati, yang hilang bukan cuma pohonnya, tapi juga roh dan martabat orang Timor."

Ungkapan ini menggambarkan bahwa pohon cendana adalah bagian dari sistem nilai, simbol kehormatan, dan jembatan antara manusia dengan leluhur.

Nilai Ekonomi dan Sejarah Eksploitasi

Selain sebagai simbol budaya, cendana memiliki nilai ekonomi luar biasa tinggi. Minyaknya diekspor ke India, Australia, dan Eropa untuk bahan kosmetik, obat-obatan, dan parfum. Pada masa penjajahan Belanda, bahkan pajak cendana menjadi alat kontrol terhadap raja-raja lokal.

Prof. Dr. Daniel Tanamal, pakar kehutanan dari Universitas Nusa Cendana menjelaskan:

"Cendana adalah aset ekonomi yang sangat langka. Sayangnya, eksploitasi besar-besaran sejak kolonial telah menghancurkan populasi aslinya. Tanpa intervensi serius, pohon ini bisa punah secara alami."

Menurut data BPS dan Litbang Kehutanan (2023), populasi alami cendana di NTT tinggal kurang dari 20% dibanding awal abad ke-20. Penebangan liar, konflik lahan, dan rendahnya upaya konservasi menjadi penyebab utamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun