Mohon tunggu...
Markus Lettang
Markus Lettang Mohon Tunggu... Asisten Pengacara Publik LBH Apik Jakarta

Criminal Defense Lawyer

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Reposisi Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Militer: Dari Paradigma Saksi ke Paradigma Hak

17 Agustus 2025   23:38 Diperbarui: 18 Agustus 2025   00:13 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Markus Lettang Di PN Jakarta Pusat


1. Pendahuluan

"Maaf, Pak. Mohon izin menanyakan, bagaimana perkembangan penanganan perkara saya saat ini?" "ini bukan perkara Anda, ini perkara si Ravael."

Kutipan di atas (paraparese) adalah ketika Seorang korban kekerasan seksual (sipil) yang pelakunya merupakan anggota TNI menghubungi Oditur Militer untuk menanyakan perkembangan penanganan perkaranya. Dengan penuh harap, korban bertanya: "Mohon maaf, Pak. Saya ingin menanyakan, sudah sejauh mana perkembangan penanganan perkara saya?" Namun, Oditur Militer kemudian merespons dengan pernyataan diskriminatif: "ini bukan perkara Anda, ini adalah perkara atas Ravael." (Ravael di sini bukan nama yang sebenarnya).

Dalam proses penanganan perkara kekerasan seksual, posisi korban merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Namun, sikap dan komunikasi aparat penegak hukum, khususnya Oditur Militer di atas tidak  menunjukkan sensitivitas terhadap kondisi korban. Pernyataan tersebut  bukti kurangnya perhatian terhadap hak dan kebutuhan khusus korban.

Lebih lanjut, pernyataan diatas menunjukan pula bahwa dalam sistem peradilan pidana militer, posisi korban kerap kali terpinggirkan. antara ain,  sebagai akibat pendekatan konvensional tentang paradigma korban. Pendekatan yang digunakan Oditor militer, masih mencerminkan paradigma lama yang menganggap korban sekadar pelengkap dalam proses hukum, bukan sebagai subjek yang memiliki hak substantif. Hal ini sangat problematik dalam konteks kekerasan berbasis gender, terutama kekerasan seksual, yang secara nyata menempatkan korban sebagai pihak yang paling terdampak secara fisik, psikis, dan sosial.

Tulisan ini merupakan pengalaman nyata penulis. Dalam tulisan ini, Penulis akan merespon pernyataan di atas dalam beberapa hal, Pertama, Dampak pernyataan tersebut terhadap korban; kedua, kedudukan korban dalam sistem peradilan militer. Dalam konteks ini, penulis akan tinjau berdasarkan paradigma Undang-Undang Tindak Pidana kekerasan seksual dan paradigma hak korban dalam sistem peradilan pidana moderen; Ketiga, Hak korban mendapatkan Informasi  perkembangan penanganan perkara dengan mengacupa regulasi yang tersedia.

2. Dampak Sikap/Pernyataan Oditor Terhadap Korban

Pernyataan tersebut sangat problematik karena beberapa alasan. Pertama, secara psikologis, korban mengalami trauma yang mendalam dan wajar apabila ia ingin mengetahui bagaimana proses hukum berjalan. Jawaban yang terkesan menolak dan tidak memberikan informasi dengan jelas hanya akan menambah beban psikologis korban dan membuatnya merasa diabaikan. Kedua,  sikap seperti ini berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan korban terhadap sistem peradilan. Jika korban merasa terpinggirkan dan tidak diperhatikan, hal itu tidak hanya menghambat proses pemulihan psikologisnya, tetapi juga dapat mengurangi keberanian korban dan saksi lain untuk melaporkan dan mengungkap kasus kekerasan di masa depan.

Oleh karena itu, aparat penegak hukum, khususnya jaksa, perlu mengembangkan pendekatan yang lebih manusiawi dan komunikatif dalam berinteraksi dengan korban. Informasi perkembangan perkara harus disampaikan secara jelas, dengan bahasa yang mudah dipahami, dan disertai pendampingan yang memadai agar korban tidak merasa sendirian dalam proses yang sulit ini.

Dengan memperbaiki komunikasi dan memberikan perhatian yang layak kepada korban, sistem peradilan pidana akan lebih mampu memenuhi fungsi keadilan secara utuh, tidak hanya bagi pelaku tetapi juga bagi korban yang menjadi pihak paling rentan dalam sebuah perkara kekerasan seksual.

3. Paradigma Konvensional: Korban sebagai Saksi Negara

Tradisi hukum pidana klasik cenderung memposisikan  tindak pidana sebagai pelanggaran terhadap negara atau ketertiban umum. Dalam kerangka ini, korban diposisikan hanya sebagai saksi yang mendukung negara dalam menuntut pelaku. Paradigma konvensional masih mendominasi sistem peradilan pidana militer. Pola pikir ini tidak berdiri sendiri, melainkan diperkuat oleh struktur komando yang kaku serta budaya hierarkis yang menekankan loyalitas terhadap institusi militer. Dalam konteks tersebut, kepentingan korban kerap terpinggirkan, bahkan disubordinasikan oleh kepentingan negara atau institusi yang cenderung tertutup dan patriarkis, sehingga proses penegakan hukum sering kali tidak berperspektif korban. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun