Mohon tunggu...
Marjin Kota
Marjin Kota Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tak Sekedar Beda, Tapi Kuat & Terbukti Jalankan Visi Bung Karno

24 Agustus 2016   15:57 Diperbarui: 24 Agustus 2016   21:42 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun 2012 dan 2014 menjadi saksi, bagaimana sebagian besar masyarakat di DKI Jakarta dan Indonesia menginginkan pemimpin yang “berbeda”. “Berbeda” dalam persepsi masyarakat di sini lebih pada pembawaan atau karakter yang terlihat. Pemimpin yang disukai masyarakat pada masa sebelum 2012 umumnya terlihat gagah, bergaya elitis (berjarak dari massa rakyat), tapi pandai berpidato. Secara umum karakter pemimpin tipe masa lalu ini diwakili oleh SBY (dan juga Prabowo). Sangat disayangkan memang, pada era ini masyarakat Indonesia masih belum terlalu mempedulikan tentang “visi”, kalaupun ada masih sangat terbatas pada yang dicitrakan di permukaan.   

Pada tahun 2012, di momentum politik Pilkada DKI Jakarta, pasangan JokowiAhok secara mengejutkan berhasil mengalahkan pasangan Fauzi Bowo – Priyanto. Jokowi, seperti diketahui, melejit dari Walikota Solo karena pembawaannya yang benar-benar berbeda dari tipikal SBY maupun Prabowo. 

Jokowi jelas tidak segagah SBY atau Prabowo, tidak elitis, gemar blusukan (karenanya tidak berjarak dari massa), dan sama sekali tak pandai berpidato. Kalaupun terdapat “visi” yang agak jelas dari Jokowi, yang diingat masyarakat, itu hanyalah aksi pencitraannya dengan mobil Esemka- yang menyimbolkan Jokowi berkeinginan membangkitkan industri otomotif karya anak bangsa. 

Dalam Pilkada DKI 2012, masyarakat Jakarta hanya melihat sosok Jokowi tanpa mempedulikan siapapun wakilnya. Saat itu Ahok adalah mantan Bupati Belitung Timur, yang menjadi politisi kutu loncat dengan ambisi menjadi gubernur di manapun tempat yang memungkinkan.

Pada tahun 2014, melihat performa Jokowi selama 1,5 tahun sebagai Gubernur DKI yang cukup konsisten dengan pembawaan “berbeda”, masyarakat yang memilihnya pada 2012 semakin bulat mempercayakan Jokowi untuk memimpin Indonesia sebagai Presiden Ke-7. PDI Perjuangan sebagai partai tempat Jokowi berasal pada awalnya agak berat mengusungnya, tapi karena mayoritas dalam PDI Perjuangan berhasil meyakinkan Megawati Soekarnoputeri bahwa Jokowi adalah penerus “visi” Sukarno tentang Pancasila, Trisakti, Revolusi Mental, dsb. 

Benar saja, dipasangkan dengan siapapun sebagai wakilnya, Jokowi tetap menang melawan Prabowo. Saat itu JK yang merupakan wakil Jokowi jelas bukan sosok politisi yang berprospek karena sudah pernah kalah telak saat nyapres di 2009, dan dikenal juga sebagai politisi yang gemar memanfaatkan kekuasaannya untuk memperbesar bisnis keluarganya.

Setelah menduduki kursi Presiden, Jokowi yang kesannya “tidak gagah, tidak elitis, dan tidak pandai berpidato” ini pada satu tahun awal pemerintahannya gagap menterjemahkan “visi” besar yang terinspirasi dari Bung Karno. Gagap terjemahkan "vsi" tersebut karena di deretan jajaran pembantunya di Kabinet tidak terdapat sosok yang mampu menterjemahkan “visi” Bung Karno. 

Pemerintahan berjalan secara biasa saja, tidak istimewa sama sekali. Masyarakat Indonesia saat itu mulai sadar, bahwa Jokowi ternyata tidak sekapabel seperti harapan mereka. 

Visi semacam mobil Esemka yang menjadi brand saat masih menjadi Walikota Solo, yang masyarakat ingat, ternyata benar-benar hanya pencitraan tanpa ada tindak lanjut yang jelas setelah Jokowi jadi Presiden. 

Baru setelah di tahun kedua masuk ke Kabinet sosok seperti Rizal Ramli mantan menteri di era Gus Dur, yang dikenal luas sejak lama sebagai ekonom nasionalis progresif, visi” pemerintahan Jokowi menjadi lebih tegas mendekati cita-cita Bung Karno. Meskipun oleh elit dianggap gaduh, tapi masyarakat Indonesia yang semakin cerdas sebenarnya terus mengikuti dengan seksama jalannya pemerintahan --yang selama ini tidak begitu mereka pedulikan. Gaduh bagi elit, tapi bagi rakyat justru menunjukkan itulah Revolusi Mental sedang berlangsung.

Cukup mengejutkan memang, pada akhir tahun kedua pemerintahannya Jokowi malah memecat Rizal Ramli dari Kabinet. Ada yang bilang ini karena Rizal Ramli berani menghentikan reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta, yang membuat marah para taipan perusahaan pengembang penyumbang biaya kampanye Jokowi di 2014. Ada juga yang bilang bahwa ini karena Jokowi memerlukan utang segar dari Bank Dunia untuk menambal defisit anggaran, dan sosok yang paling tepat untuk mewujudkannya adalah Sri Mulyani yang juga pejabat Bank Dunia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun