Ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, Anies juga dikenal membentuk Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) --- yang sebagian besar berisi loyalis dan eks tim suksesnya. Banyak dari mereka tidak berlatar belakang teknis, tapi politik. Hasilnya? Program-program besar seperti Formula E dan penataan kota Jakarta lebih banyak diperdebatkan ketimbang dipuji.
Jadi, jika Anies kini berbicara tentang koneksi mengalahkan kompetensi, publik berhak bertanya: apakah ini refleksi dari penyesalan pribadi, atau sekadar strategi politik untuk menegaskan citra moralnya menjelang persiapan pemilu atau pembentukan partai baru?
Antara Koneksi, Kompetensi, dan Kompromi
Dalam politik, koneksi bukanlah kejahatan --- selama digunakan untuk memperkuat kinerja, bukan memperlemah meritokrasi. Tapi ketika koneksi menjadi satu-satunya syarat, maka kompetensi akan mati muda.
Prabowo punya hak prerogatif memilih para pembantunya. Namun, hak itu seharusnya digunakan untuk memilih mereka yang mampu bekerja, bukan sekadar mereka yang mampu berfoto bersama. Sebab, jabatan bukanlah hadiah, melainkan amanah.
Sementara bagi Anies, kritiknya tetap perlu diapresiasi. Sedikit keberanian untuk bicara jujur adalah hal langka di negeri yang penuh basa-basi. Tapi, seperti kata pepatah Latin, "Physician, heal thyself" --- hai tabib, sembuhkanlah dirimu sendiri. Kritik yang paling tajam adalah yang disertai kesediaan untuk bercermin.
Mungkin di situlah letak kebijaksanaan politik: bukan hanya mengkritik dari luar, tapi berani mengakui jejak sendiri di dalam. Sebab, seperti kata Socrates, "Kesadaran akan ketidaksempurnaan diri adalah awal dari kebijaksanaan."
Dan mungkin, dalam dunia politik kita yang penuh koneksi dan kompromi, kesadaran semacam itu jauh lebih langka daripada kursi menteri itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI