Di negeri yang gemar menjadikan ruang sidang sebagai panggung hiburan, kita kembali disuguhi tontonan baru: drama penggugat ijazah SMA Gibran Rakabuming Raka. Alih-alih serius mempertanyakan otentisitas ijazah, kasus ini justru lebih mirip upaya meet and greet gratis dengan Wakil Presiden. Seperti kata pepatah Jawa, "Sing digoleki ora ketemu, sing ketemu ora digoleki," yang dicari-cari justru tak pernah hadir, sementara yang hadir tak pernah diminta.
Penggugat awalnya menolak kehadiran Kejaksaan Agung sebagai wakil Gibran. Alasannya sederhana tapi penuh nafsu pribadi: dia ingin Gibran dituntut sebagai individu, bukan sebagai pejabat negara. Singkatnya, "saya mau lawan Gibran, bukan institusi." Baiklah, keinginannya dikabulkan. Gibran pun mengirim tim kuasa hukum pribadi, tanpa embel-embel Wakil Presiden. Namun apa lacur, penggugat tetap ngotot: ia ingin Gibran hadir langsung, duduk di kursi sidang, mungkin sekalian tanda tangan kaos putih polos yang sudah dibawanya dari rumah.
Sayangnya, aturan hukum tak mengatur kewajiban seorang tergugat hadir secara fisik. Kehadiran kuasa hukum sah dan diakui. Tapi logika hukum rupanya terlalu kering bagi penggugat yang haus sensasi. Ketika masuk tahap mediasi pun, ia masih merengek agar Gibran datang. Bukannya menyoal bukti ijazah, yang terus diperdebatkan malah kehadiran sosoknya. Kalau boleh jujur, kasus ini lebih cocok diberi judul "Misi Mustahil: Selfie Bareng Wapres."
Pertanyaannya sederhana: kalau memang ijazah Gibran diragukan, mengapa isu itu tidak pernah dipakai lawan politiknya sejak Pilkada Solo 2015 hingga Pilpres 2024? Lawan politik biasanya lebih lihai membidik titik lemah, apalagi bila bukti sahih tersedia. Fakta bahwa tuduhan ini baru muncul belakangan, setelah Gibran menjabat Wapres, membuat aroma "pansos" lebih kental ketimbang aroma "perjuangan hukum."
Sebagaimana kata Voltaire, "Kebodohan lebih berbahaya daripada kejahatan, karena kejahatan bisa dihentikan oleh hukum, tapi kebodohan dibiarkan tumbuh oleh tepuk tangan." Tuduhan ijazah ini tampak makin absurd, tapi tetap saja mendapat ruang sorotan karena dramanya menghibur. Media pun tak kuasa menolak: siapa yang tidak tergoda mengabarkan penggugat yang begitu gigih ingin bertemu seorang Wapres?
Pada akhirnya, publik pun bisa membaca dengan jelas: ini bukan perkara dokumen akademis, melainkan kerinduan personal yang dibungkus gugatan hukum. "Kerinduan" yang agak memaksa, bahkan sampai menyeret lembaga pengadilan untuk jadi ruang temu. Lucu, getir, sekaligus ironis. Bila benar ini hanya demi selfie, sungguh kasihan hukum kita: dari panggung serius ke panggung sandiwara.
Seperti kata Albert Einstein, "Hanya dua hal yang tak terbatas: alam semesta dan kebodohan manusia. Dan aku tidak yakin tentang alam semesta." Kasus ini seolah jadi pembuktiannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI