Ketegangan antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan kalangan dokter kembali memanas. Kali ini, bukan sekadar adu argumen di ruang tertutup, tapi sudah menjadi perbincangan luas di publik. Yang menjadi sorotan adalah peran dan kewenangan kolegium kedokteran yang dinilai terlalu diintervensi oleh pemerintah. Bahkan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), institusi pendidikan kedokteran paling bergengsi di tanah air, secara terbuka menyampaikan keberatannya.
Lantas, apa sebenarnya yang sedang terjadi?
---
Kilas Balik: Ketika IDI Terlalu Perkasa
Masih ingatkah ketika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pernah dianggap terlalu dominan dalam mengatur profesi kedokteran? Kala itu, IDI seperti berada di atas angin---pengawas, pengatur, bahkan sekaligus pengadili dalam satu wadah. Pemerintah pun tampak tak berdaya.
Namun, semua berubah saat lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. UU ini menjadi titik balik penting. Kolegium, yang sebelumnya di bawah organisasi profesi, kini dipindahkan ke bawah Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), yang berada langsung di bawah Presiden. Artinya, pengawasan dan pengendalian profesi kedokteran tak lagi dimonopoli organisasi profesi, melainkan diawasi oleh negara.
Tujuannya jelas: memperkuat peran pemerintah dalam menjamin kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat. Tapi, perubahan besar ini rupanya menimbulkan gejolak baru.
---
Kolegium Dipertanyakan: FKUI Angkat Suara
Ketegangan baru mencuat awal Mei 2025. Sebanyak 158 guru besar FKUI menyampaikan surat terbuka yang mengkritisi kebijakan Kemenkes. Ada beberapa poin utama yang jadi keberatan:
1. Kolegium tidak independen lagi.
Pemilihan anggota kolegium dianggap tidak dilakukan secara demokratis. Bukan dipilih oleh sejawat melalui mekanisme voting, melainkan ditentukan langsung oleh Kemenkes.