Bahkan pada 2022, ketika gugatan hukum diajukan ke pengadilan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak semua klaim ijazah palsu, menyatakan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar dan tidak disertai bukti valid.
Dalam logika hukum dan akademik, yang menuduhlah yang wajib membuktikan, bukan sebaliknya. Namun hingga hari ini, kelompok penuduh hanya bersandar pada asumsi, tafsir keliru, dan kutipan yang dilepaskan dari konteks.
---
Psikologi Anti-Fakta: Ketika Data Tak Lagi Penting
Yang menarik (dan sekaligus memprihatinkan), para penuduh ini tidak bergeming meski fakta telah ditunjukkan berkali-kali. Di mata mereka, keyakinan lebih tinggi dari bukti. Mereka tidak membutuhkan data, karena telah menjadikan tuduhan sebagai dogma, bukan argumen.
Ini mencerminkan gejala post-truth: ketika emosi dan opini pribadi lebih dipercaya ketimbang fakta objektif. Sebuah era di mana narasi fiksi bisa dianggap lebih valid dibandingkan dokumen resmi.
---
Lalu, Haruskah Kita Terus Menanggapi?
Pertanyaan kritisnya: apakah upaya membantah tudingan ini masih perlu? Bukankah semakin dijelaskan, semakin mereka menuduh?
Jawabannya: perlu---tapi bukan untuk mereka yang sudah terlanjur mempercayai hoaks. Penjelasan, klarifikasi, dan penyebaran fakta tetap penting untuk mereka yang masih rasional, agar tidak ikut terseret arus fitnah dan manipulasi.
Kita tidak bisa mengubah keyakinan orang yang sudah menutup diri dari fakta. Tapi kita bisa memperkuat benteng rasionalitas publik dengan menyebarkan kebenaran secara konsisten.