Salah satu langkah strategis dan taktis dalam strategi ini adalah memasangkan Ahok yang waktu itu masih di partai Gerindra dan Jokowi dari PDIP sebagai calon Gubernur DKI. Pada saat itu PDIP dan Gerindra masih mesra.
Kalau dilihat signal politik saat itu, sebenarnya PDIP awalnya tidak terlalu sreg mencalonkan Jokowi. Karena saat itu Jokowi memang bukan siapa - siapa di Partai PDIP. Dia baru bergabung sebagai anggota dan bukanlah pengurus partai.Â
Namun rupanya loby - loby yang dilakukan Prabowo yang masih akrab dengan Megawati, akhirnya Jokowi pun didapuk berpasangan dengan Ahok untuk maju di Pilkada DKI.
Kala itu koalisi PDIP dan Gerindra menghadapi lawan yang cukup berat. Jokowi - Ahok berhadapan dengan petahana yang didukung partai PKS yang waktu itu menguasai DKI Jakarta. Namun usaha dan dukungan Gerindra yang luar biasa akhirnya meloloskan Jokowi dan Ahok menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI.
Sampai di situ drama Gerindra masih ceria. Partai ini semakin bisa membuktikan bahwa mereka memang mendukung calon - calon yang didukung oleh masyarakat.Â
Dengan mendukung Ahok, Gerindra juga mempunyai reputasi tersendiri sebagai partai nasionalis yang mendukung pluralitas dan inklusifitas.
Namun babak drama selanjutnya benar - benar di luar skenario Prabowo. Jalan lempang untuk menuju kursi kepresidenan tiba - tiba terhalang.
Janji tidak tertulis yang rupanya sudah disepakati antara PDIP bahwa setelah dirinya mau menjadi cawapres Megawati maka PDIP akan mendukung Prabowo sebagai capres tidak ditepati.
Dalam Pilpres 2014 PDIP melihat ada peluang untuk mendukung calon dari Partainya yakni Jokowi yang memang sedang populer karena gebrakan nya sebagai Gubernur DKI.
Bisa Penulis bayangkan, betapa saat ini Prabowo menyesal akan keputusannya telah mendukung Jokowi sebagai Gubernur DKI pada waktu itu.
Pasti dirinya sama sekali tidak menyangka orang yang dia dukung itu justru menjadi penghalang utamanya untuk mencapai kursi presiden yang sudah di depan mata.