Melansir data dari laman resmi informasi COVID-19 Jakarta, per tanggal 18 September telah dikonfirmasi sebanyak 60.875 kasus positif COVID-19 dan 13.105 kasus aktif (orang masih di rawat/isolasi) yang terdapat di Jakarta. Banyaknya angka tersebut yang kian hari kian meningkat, mengancam kapasitas maksimal tempat tidur yang dapat disediakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk merawat pasien positif.Â
Dilansir dari laman Detik Health, Anies mengungkapkan bahwa jika tidak diterapkan PSBB secara ketat maka tempat tidur ruang isolasi untuk COVID-19 akan penuh. Selain itu alasan dari kembali diberlakukannya PSBB dikarenakan pemakaman harian dengan protokol pengawasan terbatas (Protap) kian meningkat. Anies mengungkapkan, data pemakaman dengan protokol COVID-19 terus meningkat, tertinggi di awal September 2020. Artinya, banyak kasus probable COVID-19 meninggal dengan menggunakan pemakaman COVID-19.
Dari sedikit alasan tersebut, maka jelas pemberlakuan kembali PSBB ketat di Jakarta ditujukan untuk  kepentingan kesehatan. Namun sayangnya kebijakan tersebut tidaklah sepenuhnya di dukung oleh masyarakat. Dilansir dari Tirto.id, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang mengaku khawatir dengan kebijakan Anies tersebut.Â
Ia mengatakan beberapa bulan terakhir, tren kinerja industri sudah relatif membaik. Purchasing Manager's Indeks (PMI) manufaktur sudah kembali menyentuh angka 50,8 alias di atas ambang batas minimum 50 pada Agustus 2020 lalu.Â
Apabila kembali diberlakukan PSBB maka dikhawatirkan industri manufaktur yang sudah menggeliat, kembali mendapat tekanan. Di sisi yang sama untuk memprotes kebijakan tersebut, pengusaha kenamaan di Indonesia, Robert Budi Hartono sempat viral di media sosial akibat surat yang ia kirimkan kepada Presiden Indonesia dengan isi menyayangkan keputusan yang diambil oleh Gubernur Anies.
Memang apabila dilihat dari sudut pandang ekonomi, kebijakan dari Anies tidaklah baik. Mengutip data dari Badan Pusat Statistik, perkuartal kedua ini tingkat pertumbuhan ekonomi di Jakarta terhitung mengalami kontraksi (minus) mencapai 8.22 %, yang mana merupakan angka terendah selama kurung waktu 10 tahun terakhir.Â
Kontraksi tersebut pun dihitung dari masa telah diberlakukannya PSBB transisi yang tidak seketat PSBB biasa, maka dapat dibayangkan apabila PSBB ketat diberlakukan akan seperti apa jadinya pertumbuhan ekonomi di Jakarta. Selain itu, dengan penerapan PSBB kembali di Jakarta turut berdampak pada aspek pasara modal.Â
Indeks Hasil Saham Gabungan (IHSG) sempat tercatat mengalami pelemahan 0.4% ke angka 5.038,4 dan berpotensi terus turun hingga ke angka 5.000. Lebih lanjut lagi, dengan pemberlakuan kembali PSBB maka jelas akan sangat berpotensi pada usaha kecil dan menengah yang pada umumnya masih mencari dan mendapatkan pelanggan melalui kontak langsung
Begitulah dilemanya dalam menghadapai Pandemi COVID-19 ini. Agaknya pepatah yang mengatakan 'bak makan buah simalakama' tepat untuk menggambarkan betapa kompleks dan rumitnya permasalahan dalam menangai keadaan ini. Pada akhirnya hanya waktu yang dapat menjawab apakah warga Jakarta dan Indonesia dapat bertahan dari gempuran pertanyaan "Lebih baik mana, kesehatan atau perekonomian".