Mohon tunggu...
Mario Baskoro
Mario Baskoro Mohon Tunggu... Jurnalis - Punya Hobi Berpikir

Hampir menyelesaikan pendidikan jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Secara praktis sudah menyusuri jalan jurnalisme sejak SMA dengan bergabung di majalah sekolah. Hampir separuh perkuliahan dihabiskan dengan menyambi sebagai jurnalis untuk mengisi konten laman resmi kampus. Punya pengalaman magang juga di CNN Indonesia.com. Tertarik di bidang sosial, politik, filsafat, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perundungan: Alarm Merah Bagi Pendewasaan Sikap Mahasiswa

20 Juli 2017   23:43 Diperbarui: 21 Juli 2017   13:12 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kala itu adalah sore yang tidak terlalu panas, namun sunyi. Disaat kebosanan melanda, adalah sesuatu yang wajar ketika anak muda seperti penulis menganggap momen seperti itu sebagai momen yang cocok untuk (sekali-kali) bersenda gurau dengan apa yang ada di media sosial. Meskipun pikiran penulis hanya tertuju pada pencarian akan berita dan humor, namun banyak sekali hal yang penulis temukan dari media sosial. Tidak jarang penulis menemukan sesuatu yang lain : sarkasme ; kritik ; perdebatan ; atau PERTENGKARAN.

Beberapa menit berlalu, dan mata penulis tiba-tiba tertuju pada sebuh postingan berbentuk sebuah video yang memvisualkan beberapa mahasiswa yang secara tak senonoh dan terang-terangan tengah memperlakukan salah satu sesamanya yang nampaknya berkebutuhan khusus. Layaknya yang lain, awalnya penulis hanya bersimpati seperti biasa.

Namun setelah itu, penulis terkejut tatkala membaca keterangan yang menyertai postingan tersebut. Dari rangkaian keterangan itu, penulis menemukan  bayang-bayang baru. Sebuah keironian. Bagaimana bisa itu disebut sebagai sebuah ironi ? Perisitiwa tak senonoh tersebut terjadi di kalangan mahasiswa ! Mari digaris bawahi kembali.... Mahasiswa ! Dimana esensi 'mahasiswa adalah pribadi yang sudah dewasa' ? Apakah kini generasi muda sudah kehilangan tujuan awal sesungguhnya dari status 'kemahasiswaan' ?

Apakah mahasiswa kini sudah tidak dewasa secara sosial ??


Sudah sejak waktu yang lama, kita yang muda dan berambisi terus diingatkan oleh yang tua akan satu hal : bahwa pendewasaan fisik yang tidak diiringi dengan pematangan etika secara sosial adalah nol besar. Bahwa pendewasaan tidak melulu mencakup soal pubertas dan transformasi fisik. Dewasa adalah tentang pola pikir, tingkah laku dan sudut pandang. Nampaknya, semakin jauh generasi muda Indonesia mencicipi dampak modernisasi, semakin lupa mereka tentang kiat tersebut, serta semakin minim pula pembudayaan simpati dan empati dalam sosialisasi yang mengiringi hidup mereka.  

Tuntutan dan tanggung jawab mandiri anak muda untuk mengupayakan pendewasaan diri mereka dimulai pada usia 15 tahunnya. Artinya bahwa kesediaan untuk menjunjung dan mengontrol sikap hidup (dalam hal ini terutama tentang memperlakukan sesama) harus sudah tertanam sejak menduduki bangu sekolah menengah atas. Sebagai tahap 'pemanasan' daripada pengukiran kepribadian, masa-masa sekolah menengah keatas diharapkan dapat menjembatani kesiapan anak muda untuk menunjukan loyalitas mereka pada kedewasaan yang sesungguhnya ; menuju dunia pematangan yang sebenarnya, yakni perkuliahan.


Secara konsep, perkuliahan (berserta status kemahasiswaaan) sesungguhnya tidak hanya merepresentasikan peningkatan strata identitas akademik, melainkan juga kedewasaan dalam belajar, bersaing, berasah dan bersosialisasi. Dengan kata lain, terpelajar secara materi bukanlah satu-satunya pemenuhan kompetensi yang hendak dikuasai oleh mahasiswa, namun juga terpelajar dalam pengimplementasian nilai, moral dan etika selama bertindak-tanduk dalam dunia sosial di kehidupannya.

Kasus pem-bully-an dikalangan mahasiswa yang beredar viral beberapa waktu lalu menunjukan kepada kita bahwa semua hal tersebut masih menjadi pekerjaan rumah bagi kalangan terpelajar Indonesia masa kini. Jaman sekarang, nampaknya generasi muda semakin kehilangan pegangan kepercayaannya oleh negara sebagai (yang katanya) adalah penerus bangsa ; penentu masa depan negara ; dan sebagainya. Bagaimana tidak ? Ketika dunia akademik 'kepergok' sebagai tempat bersarangnya kedinian pendewasaan perilaku sosial, hal tersebut hanya akan melahirkan lebih banyak pihak-pihak yang meragukan kompetensi dan konsistensi lembaga peguruan tinggi dalam melakukan tugasnya. Sekali lagi, ironi ditemukan disini.

Pembullyan dikalangan mahasiswa menunjukan bahwa selama ini terdapat bentuk adaptasi yang salah dari anak muda terhadap pertransferan nilai dan ilmu yang mereka peroleh, baik sebelum menjadi bagian dari dunia kemahasiswaan, atau selama dan setelahnya. Dapat dipastikan terdapat sesuatu yang salah dari hal tersebut, sehingga dapat dengan mudahnya terpertontonkan bentuk keterlambatan pendewasaan sikap yang konyol seperti yang tertayangkan dalam video tersebut.

Dilihat dari sisi kemanusiaan, seorang mahasiswa hendaknya merupakan pribadi yang intuisi hati nurani dan pikirannya terorientasi pada tuntutan tanggung jawab humanisme, yang dimana proses pendewasaannya sendrilah yang membentuk hal tersebut. Kapasitas pendewasaan yang tidak memumpuni, mengakibatkan diri para pelaku pem-bully-an menjadi terancang untuk terkesan 'tidak siap' dihadapkan langsung dengan heterogensi mencolok dari lingkungan interaksinya. Heterogensi antara mahasiswa yang sehat dan mahasiswa yang berkebutuhan khusus. Pematangan sikap dan perilaku yang tidak wajar merepresentasikan kiat bahwa eksistensi si 'cacat' adalah minoritas yang pantas dan asik untuk diberlakukan semena-mena.

Efek jera adalah senjata terampuh untuk menekan persebaran jumlah pelaku pem-bully-an, terutama dikalangan mahasiswa, dengan asumsi kedewasaannya akan mulai 'terukir' ketika satu persatu dari mereka memperoleh konsekuensi tersebut. Beberapa kerasnya sanksi yang ditemukan milik sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, menunjukan bahwa membangun kesadaran penuh pada lembaga pendidikan Indonesia secara menyeluruh tentang pentingnya etika sosial bukanlah misi yang tidak mungkin. Fakta semacam itu menjadi modal bagus, yang mengisyaratkan bahwa bibit-bibit inisiatif akan perwujudan misi tersebut sudah ada dan nyata ditengah masyarakat.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun