Pun Jose Mourinho ditarik ke Stamford Bridge usai membawa FC Porto meraih treble. Hasilnya, cukup memuaskan. Dominasi MU (dan Arsenal) perlahan dipatahkan. The Blues mulai bergelimang trofi berkat gelontoran uang Abramovich. Di kompetisi domestik, Chelsea tampil menakutkan.
Namun dalam kompetisi Eropa khususnya UEFA Champions League (UCL), mereka masih jauh dari trofi (sebelum Abramovich datang, mereka hanya menjuarai Piala Winners dan Piala Super UEFA).Â
Perjalanan mereka terjauh mentok di semifinal. Abramovich yang tidak sabaran itu ingin agar trofi UCL pun mengisi lemari trofi klubnya.Â
Namun, tidak ada yang dapat memuaskan hasrat Abramovich; hingga pada akhirnya, di bawah kendali seorang pelatih Israel, Chelsea tiba di Moscow pada final UCL 2008.
Moscow yang basah pada Mei 2008 adalah drama. Lupakan sejenak gol kepala Cristiano Ronaldo, kartu merah Didier Drogba, teriakan dengan dua tangan teracung Edwin Van Der Sar, sepakan yang mengenai tiang dan mistar, atau senyum Opa Fergie dengan trofi si kuping lebar keduanya.Â
Beberapa tahun sebelum slip-nya Gerrard terjadi di Anfield, Moscow telah menjadi saksi 'terpeleset' yang memilukan dari perburuan gelar paling bergengsi di Eropa, ke-terpeleset-an yang membuat Abramovich tersenyum tapi tidak benar-benar puas, ke-terpeleset-an yang membuat mereka harus menunggu beberapa tahun lagi untuk trofi tersebut,.
Ke-terpeleset-an yang menegaskan bahwa klub yang (mendadak) kaya tidak dapat dengan mudah membeli sebuah trofi (di level Eropa). Dan sama seperti Gerrard, terpeleset di Moscow juga dilakukan oleh kapten mereka sendiri.
Roman Abramovich berharap agar malam di Moscow itu menjadi milik mereka. Sudah bisa dibayangkan, berapa besar biaya yang dikeluarkan sang taipan minyak asal Rusia itu untuk sampai di final.Â
Layaknya seorang pejabat yang menikmati sore dengan menonton anak-anak bermain sepakbola dengan kaki telanjang di depan teras rumahnya ketika liburan, menyaksikan klubnya bertanding di Moscow rasanya seperti mendapat kado terindah di kampung halaman sendiri, apalagi jika menjuarainya.
Sayangnya, hujan yang mengguyur Stadion Luzhniki membuat lapangan menjadi basah dan licin. Mulanya, lapangan yang licin itu menguntungkan Chelsea ketika Frank Lampard mencetak gol penyama kedudukan.Â