Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tenunan Toleransi Beragama, Jangan Terkoyak

14 September 2016   22:40 Diperbarui: 14 September 2016   23:51 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Indonesia.ucanews.com

Awal Ramadhan 2015, kabut duka menyelimuti Kampung Cireundeu. Bapak Kanda meninggal dunia. Jarum aktivitas berubah 180 derajat. Para petani membereskan peralatannya, urung memanen dan menyiangi ladang. Mereka bergegas menuruni bukit. Di sudut lain perkampungan, pemilik penggilingan menutup pabriknya. Sementara para ibu segera mematikan kompor, menghentikan rutinitas harian dan bergerak menuju rumah duka. Bagi warga kampung Cireundeu, peristiwa kematian merupakan duka bersama bukan hanya milik keluarga yang ditinggalkan.

Mereka tidak hanya menghibur keluarga yang ditinggalkan tapi juga bergotong royong menyiapkan ritual mengantar jenazah ke tempat peristirahatan terakhir. Sebagian dari mereka menyiapkan upacara memandikan jenazah. Sebagian lagi menggali lubang di pekuburan yang terletak tidak jauh dari perkampungan. Beberapa yang memiliki keahlian pertukangan kayu mulai membuat peti mati. Sedangkan para ibu memasak berbagai panganan bagi tamu yang datang. Seekor kambing dipotong dan dimasak bersama lauk pauk lain untuk dibagikan ke setiap pemilik rumah kampung Cireundeu.

Pembuatan peti jenazah menandakan bapak Kanda penganut keyakinan Sunda Wiwitan. Semasa hidupnya almarhum bersama penganut Sunda Wiwitan lainnya hidup rukun berdampingan dengan pemeluk agama Islam. Tanpa sekat. Mereka makan dari hasil bumi yang sama, minum air yang sama dan menghirup udara yang sama Dalam satu keluarga acap ditemukan anggota yang berbeda keyakinan, tanpa pernah terjadi friksi. Justru mereka saling menghargai, saling berbagi bak jalinan benang warna warni, berkelindan saling melengkapi hingga tercipta harmonisasi kehidupan yang membuat persaudaraan di Kampung Cireundeu demikian kokoh.

Perbedaan hanya pada saat menjalankan ibadah agama. Dan secara fisik terlihat pada keterangan batu nisan di kuburan. Pemeluk agama Islam menuliskan nama dan keterangan lain dengan menggunakan tulisan Arab sedangkan penganut Sunda Wiwitan menuliskan huruf Sunda Kuno. Selebihnya tanpa batas, tanpa pembeda, gundukan tanah kubur jenazah kaum Muslim berdampingan dengan penganut Sunda Wiwitan.

Kerukunan hidup beragama tidak hanya milik Kampung Cireundeu. Ada 6 agama yang diresmikan pemerintah Indonesia serta 245 aliran kepercayaan yang tercatat di kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003. Pemeluknya hidup guyub, saling menghargai dan menghormati. Karena sejatinya rukun beragama merupakan way of life bangsa Indonesia. Tak heran para founding fathers menyantumkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila.

Namun hukum alam berlaku untuk semua mahluk di bumi termasuk perilaku dan keyakinannya. Era media sosial datang bak pisau bermata dua. Kebahagiaan merayakan hari besar agama dengan mudah diwartakan hingga belahan bumi. Tanpa perlu mencari kartu ucapan dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk merangkai kata. Tapi kemudahan mengakses internet juga bisa menelan mereka yang intoleran, yang tidak secerdas gawai yang dimiliki. Salah satu ujiannya berbentuk judul provokatif berikut:

“Ingin Naik Kelas, Siswa SMKN7 Semarang Disuruh Masuk Islam”

Memenuhi lini masa pada bulan Juli 2016 silam, judul intoleransi tersebut siap memakan korban. Pembuatnya, pemilik situs abal-abal yang tak bertanggung jawab dan menggunakan berbagai cara untuk meraup untung. Judul bombastis dipilih agar pengguna internet terpikat, mengunjungi situs kemudian membagikan lewat akun media sosial miliknya. Semakin sensasional judul, semakin banyak pengakses dan tulisanpun menjadi viral. 

Ribuan bahkan jutaan pengunjung situs akan membuat pemiliknya bersorak. Tujuannya tercapai yaitu memenuhi pundi-pundi uang yang berasal dari iklan. Tak peduli yang dilakukannya berpotensi membakar emosi pembaca dan menimbulkan aktivitas anarkis. Tindakan tak terpuji yang bisa mengoyak jalinan benang toleransi umat beragama. Jalinan yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.

Semakin banyak pemilik smartphone dan semakin beragam fitur yang disediakan ditambah semakin cepatnya akses internet ternyata tidak berbanding lurus dengan kecermatan mengolah dan mencerna link tulisan yang lalu lalang dengan cepat. Semua ingin menjadi pelopor, yang tercepat membagikan di akun media sosialnya. Padahal jika mau mencari dari media maya terpercaya akan ditemukan berita yang benar yaitu tentang Zulfa Nur Rahman siswa kelas XI Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 7 yang menolak mengikuti pelajaran agama. Zulfa dan keluarganya penganut aliran kepercayaan.

Karena SMKN7 Semarang tidak memiliki guru yang relevan maka ketika mendaftar dia mengisi kolom agama dengan agama Islam. Sewaktu kelas X dan kelas XI, Zulfa mengikuti mata pelajaran agama Islam, barulah di kelas XII Zulfa menolak dan berujung kosongnya nilai rapor. Tentu saja sesuai peraturan, siswa yang tidak memiliki nilai tidak bisa naik kelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun