Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Masak Pakai Sampah Dapur? Bisa!

1 Desember 2016   23:35 Diperbarui: 2 Desember 2016   13:56 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hanya orang bodoh yang ngga mau pakai biodigester,” kata Ibu Nano. “Apa sulitnya coba? Hanya misahin sampah dapur, besoknya masukin ke tabung biodigester, udah hanya itu. Gas untuk memasak tersedia setiap hari. Saya masih pakai gas elpiji, tapi biogas ini menolong sekali, bikin hemat.”

Saya mengangguk menyetujui kata-kata Ibu Nano. Alih-alih menjadi masalah, sampah organik di perumahan Griya Cempaka Arum ini adalah sumberdaya, penghasil gas metan yang digunakan untuk memasak makanan. “Saya dulunya juga bingung. Malah takut bau, karena itu biodigester disimpan di belakang rumah. Eh ngga taunya gampang kok dan ngga bau sama sekali," kata ibu Nano melanjutkan dengan penuh semangat.

Semua tampak mudah. Ada dua tempat sampah yang disediakan Ibu Nano di dapurnya yang menyatu dengan ruang makan. Satu tempat sampah disiapkan untuk dirinya dan anggota keluarga yang membuang sampah organik hari ini, seperti sampah dapur dan sisa makanan. Sedang tempat sampah lainnya berisi hasil penampungan sampah organik kemarin, isinya agak berair tetapi belum berbau menyengat.

Sampah organik kemarin inilah yang dibawanya sambil mengajak saya melihat peralatan biodigester di pekarangan belakang. Di sana ada 2 drum, besar dan kecil. Dengan berjinjit, Ibu Nano memasukkan sampahnya ke dalam drum besar. Hasil pemrosesan akan masuk drum kecil yang terletak di samping drum besar. Ada kran terpasang di drum kecil yang mengalirkan cairan berwarna keruh. “Ini pupuk cair,” kata Ibu Nano. “Katanya bisa dijual kalo hasil produksi berlebih. Saya sih masukin lagi ke drum besar. Supaya ngga repot cari air, simpel kan?”

Saya kembali mengangguk. Seharusnya bersamaan dengan sampah organik, dimasukkan juga sejumlah cairan untuk membantu pemrosesan sampah organik. Tapi Ibu Nano mengambil jalan pintas dengan memasukkan kembali cairan hasil proses biodigester, sehingga praktis. Manajemen waktu harus diterapkan seorang ibu rumah tangga agar bisa menyelesaikan aktivitas dengan cepat, mudah dan menyenangkan.

Selain drum, nampak pipa menuju dapur Ibu Nano. Pipa tersebut berakhir pada semacam papan indikator hasil proses biodigester. Mirip thermometer berukuran besar, bedanya ada dua pipa bening yang menampilkan cairan penanda adanya bahan baku siap pakai. “Hampir ngga pernah kosong. Paling kalo kelihatan tinggal sedikit saya pindah masak pake elpiji”, jelas ibu Nano sambil mendemontrasikan penggunaan kompor biodigester. Harus menggunakan korek api. Selain itu tidak ada yang berbeda. Api yang dihasilkan berwarna kebiruan, mirip api yang berasal dari tabung elpiji.

Tidak hanya Ibu Nano, di perumahan Griya Cempaka Arum Kota Bandung ada sekitar 6 orang pengguna biodigester, hibah dari pengusaha Arifin Panigoro untuk Kota Bandung pada tahun 2015 silam. Pemilik Medco Grup tersebut berjanji akan menambah jumlahnya jika program 100 biodigester pertama berjalan dengan sukses. Sayang, harapannya tidak berjalan mulus. Tidak seperti pengguna biodigester di Griya Cempaka Arum, pengoperasian di lokasi lain tidak berjalan sesuai rencana.

Ahmad Saparudin yang tinggal di jalan Manglayang begitu antusias ketika mendengar ada pembagian biodigester secara cuma-cuma. Tidak hanya tergiur hasil biodigester berupa gas metan untuk memasak, keberadaan biodigester juga merupakan solusi sampah yang selama ini membuat keluarganya pusing tujuh keliling. Di kawasan tempat tinggalnya tidak ada petugas kebersihan yang mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah. Penyebabnya mungkin karena terletak berbatasan dengan kabupaten Bandung dan kondisi tanah yang curam dan terjal.

Warga umumnya membawa sampah ke jalan besar hingga bertemu TPS (tempat pembuangan sampah) atau dibuang ke lahan kosong untuk dibakar. Karena itu tawaran biodigester dipandang Ahmad sebagai solusi agar kelak bisa digunakan kerabat serta tetangga jika dia berhasil dengan sukses.

Sayang, biodigester yang dioperasikan Ahmad sering mengalami masalah. Di antaranya air yang membludak keluar dari kran. Sangat merepotkan. Sehari-hari Ahmad dibantu ibunya, Ibu Titi dalam mengoperasikan biodigester. Tidak seperti Ibu Nano, bersamaan dengan memasukkan sampah organik, Ibu Titi juga memasukkan air yang baru diambilnya dari sumur. Sehingga produksi air sisa proses biodigester menjadi berlimpah ruah, bahkan sesudah dimasukkan ke sejumlah jerigen, air tetap tak tertampung. Tak heran para tetangga berujar sinis, “Barabe geuning biodigester teh? Hoream ah,” yang terjemahannya kurang lebih adalah, “Ternyata repot ya biodigester? Malas ah”.

Bermacam cara telah dipraktikkan Ibu Titi, di antaranya mengurangi frekuensi asupan sampah organik. Awalnya tiap hari kini hanya dua hari sekali. Hasilnya tentu juga berkurang. Hanya sekitar sejam penggunaan setiap harinya. Sangat jauh dibanding kompor di rumah Ibu Nano yang tidak hanya digunakan untuk menjerang air tapi juga untuk mengolah sejumlah masakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun