Mohon tunggu...
@mar.dov
@mar.dov Mohon Tunggu... Lainnya - Juru ketik

Mengetik untuk menggelitik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Belajar Sejarah Dari Pinggir

1 Maret 2021   00:13 Diperbarui: 21 April 2021   03:40 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekolah Kartini, foto koleksi Tropenmuseum. CC 3.0

Dulu, pelajaran sejarah termasuk pelajaran yang membosankan bagi saya. Meski di tahun 90-an guru-guru sudah menerapkan metode CBSA atau Cara Belajar Siswa Aktif, namun dalam implementasinya CBSA tak lebih dari pelesetan dari Catat Buku Sampai Abis. Guru menerangkan, murid mencatat. Jika guru bertanya, murid menjawab. Pelajaran sejarah identik dengan menghafal tanggalan, tempat dan tokoh dari peristiwa-peristiwa bersejarah. Belajar sejarah berarti mengingat tokoh dan peristiwa masa lampau yang terasa sangat jauh relevansinya dalam kehidupan murid-murid di masa sekarang. Inilah salah satu musabab kenapa pelajaran ini terasa menjemukan, seakan-akan tidak ada kait-mengkaitnya antara apa yang dipelajari dengan apa dan siapa si murid di masa kini.

Sejatinya, apabila kita melongok ke perkembangan ilmu sejarah sendiri, sejarah tidak harus selalu berputar di peristiwa-peristiwa besar dan orang-orang yang agung. Seperti yang dibilang Davidson (2019) sejarah juga bisa bercerita tentang pengalaman dan persepsi orang-orang biasa, orang-orang yang semasa hidupnya tidak pernah mendapat tempat di muka panggung. Inilah yang dikenal sebagai sejarah dari bawah/pinggir (history from below atau people's history), dengan salah satu penggagasnya yakni Marcus Rediker. Dengan menyorot kepada kehidupan orang-orang bawah atau orang-orang pada umumnya, maka sejarah menjadi milik semua orang, bukan cuman para penggede atau orang-orang yang berkuasa.

Jika sejarah adalah milik semua, pembelajaran sejarah mestinya merangkul beragam perspektif dan tidak lagi bersifat indoktrinasi terhadap satu versi sejarah tertentu. Artinya, belajar sejarah hendaknya tidak mengandalkan satu buku. Suara-suara mereka yang terpinggirkan dari buku-buku sejarah dominan juga layak diperdengarkan. Alih-alih menanamkan satu versi sejarah sebagai sejarah yang paling benar, murid bisa diperkenalkan pada perbedaan cara pandang dan cara berpikir. Penekanannya bukan soal siapa benar siapa salah, atau siapa menang siapa kalah, namun lebih kepada memahami bagaimana orang-orang di masa tertentu menghidupi jamannya dan bagaimana apa-apa yang sudah lampau itu membawa dampak pada kehidupan kita di masa kini. Dengan demikian pelajaran sejarah tidak lagi berorientasi masa lalu, namun lebih kepada mempersiapkan hidup di masa kini dan nanti (history for the future).

Pertanyannya, bagaimakah kita bisa menghadirkan beragam perspektif tersebut di ruang kelas? Apakah kita lantas mencokoki murid dengan 10 buku sejarah sekaligus, misal? Tentu akan sulit rasanya ini direalisasikan. Seperti kata pepatah, tidak satu jalan ke Roma, pun demikian dengan sumber pelajaran sejarah tidak satu saja ragamnya. Wilde (2019) menulis, dalam sejarah dikenal apa yang dinamakan sumber sejarah primer dan sekunder, atau sederhananya sejarah dari sumber pertama dan sumber kedua. Sumber pertama berarti orang atau barang yang berhubungan langsung dengan suatu persitiwa. Jika kita hendak berbicara soal Orde Baru, misal, sumber pertama adalah orang-orang yang lahir dan hidup dari rentang tahun 1966 hingga 1998 berikut dokumen dan artefak yang ada di periode tersebut, di antaranya meliputi: foto, catatan harian, Undang-Undang, surat kabar, musik, film, dll. Sementara sumber kedua berupa interpretasi terhadap sumber yang pertama, berupa analisa sejarah di buku, ulasan-ulasan di majalah atau kajian-kajian di jurnal penelitian. Selama ini pelajaran sejarah kita, setidaknya yang saya alami sendiri, banyak menitikberatkan pada sumber kedua dan jarang mengeksplorasi sumber pertama. Padahal, kalau kita hendak mengangkat cerita soal pengalaman orang-orang dari pinggir, sudah pastilah jarang sekali bisa diperoleh dengan merujuk pada sumber kedua (apalagi sumber kedua yang dipakai itu ke itu saja).

Sejauh ini sumber primer yang kerap saya pakai di kelas yakni wawancara berikut foto-foto lama. Baru-baru ini kami baru saja mengupas tentang sejarah Orde Baru. Untungnya, karena periode ini teramatlah panjang, yakni hingga lebih 32 tahun lamanya, sumber-sumber primer pun berserakan banyaknya. Untungnya lagi, anak-anak yang saya hadapi yakni mereka-mereka yang orang tuanya sudah hampir dapat dipastikan adalah saksi hidup sejarah dari masa pemerintahan Soeharto karena mayoritas mereka kemungkinan besar lahir di rentang tahun 1970 hingga 1980. Anak-anak kemudian bisa menggali dan memahami apa dan bagaimana kehidupan di era Soeharto dari rumah mereka sendiri: dari cerita orang tua mereka berikut koleksi foto-foto keluarga jaman dulu. Dengan mendengarkan cerita dari orang tua dan orang-orang terdekat mereka, siswa akan mampu melihat dan merasai bahwa apa yang mereka pelajari bukanlah kehidupan orang lain, melainkan hidup keluarga mereka sendiri. Mereka juga lantas mengenali bahwa apa yang terjadi dan dialami oleh keluarga mereka di masa lalu itu mendefinisikan apa dan siapa mereka di masa kini.

Referensi:

Davidson, Jared. 2019. History from below: a reading list with Marcus Rediker. Diakses dari: https://www.historyworkshop.org.uk/history-from-below-a-reading-list-with-marcus-rediker/, 28 Februari 2021

Wilde, Robert. 2019. Primary and secondary sources in history. Diakses dari: https://www.thoughtco.com/primary-and-secondary-sources-their-meaning-in-history-1221744, 28 Februari 2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun