Mohon tunggu...
maria angie
maria angie Mohon Tunggu... mahasiswi

Halo saya Maria Angie Sianturi mahasiswa Akuntansi Perpajakan dari Universitas Pamulang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Amnesti Pajak Tanpa Privilege: Mematahkan Kutukan Sunset Policy

19 Oktober 2025   16:18 Diperbarui: 19 Oktober 2025   16:18 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Setiap kali pemerintah meluncurkan amnesti pajak, sorotan publik langsung tertuju pada para konglomerat yang tiba-tiba "membersihkan" aset mereka dengan biaya murah, sementara wajib pajak kecil merasa ditinggalkan. Ini adalah kutukan sunset policy yaitu kebijakan sementara yang dirancang untuk berakhir setelah periode tertentu, tapi sering kali meninggalkan rasa getir keadilan fiskal. Di Indonesia, amnesti pajak 2008 pasca-krisis global menarik Rp 70 triliun dari aset tersembunyi, tapi mayoritas dari kalangan atas. Begitu pula amnesti 2016, yang meraup Rp 4.800 triliun aset dideklarasikan, tapi hanya 20% dari wajib pajak menengah dan UMKM yang ikut serta (data DJP 2017). Publik menilai ini sebagai "diskon elit", di mana negara mengorbankan prinsip keadilan demi penerimaan cepat. Apakah amnesti pajak masih layak, atau sudah saatnya kita rancang ulang agar tidak hanya menguntungkan segelintir orang kaya? Artikel ini mengurai kutukan ini, penyebabnya, implikasinya, dan visi konstruktif untuk sistem yang lebih adil.

Penyebab utama kegagalan amnesti pajak dalam menciptakan keadilan fiskal terletak pada desain kebijakan yang cacat dan eksekusi yang lemah. Pertama, desain sunset policy sering kali terlalu longgar dan berorientasi jangka pendek. Amnesti 2016, misalnya, menawarkan tarif tebusan rendah---2-5% dari aset---tanpa syarat ketat repatriasi atau investasi produktif, sehingga banyak peserta hanya membayar "denda simbolis" tanpa komitmen jangka panjang. Menurut laporan IMF 2018 tentang reformasi pajak di negara berkembang, kebijakan seperti ini cenderung menarik pemilik modal besar karena mereka punya aset tersembunyi di luar negeri, sementara UMKM kesulitan mengakses program karena kurangnya literasi dan birokrasi. Kedua, lemahnya pengawasan memperburuk bias ini. DJP pada masa itu kekurangan sumber daya untuk verifikasi deklarasi, sehingga kasus seperti aset fiktif atau double claiming lolos, seperti yang diungkap audit BPK 2017 yang menemukan ketidaksesuaian hingga 15% dari total penerimaan.

Ketiga, bias struktural terhadap pemilik modal besar berakar pada ketergantungan fiskal negara pada kontribusi mereka. Konglomerat, yang menguasai 60% aset keuangan nasional (OJK 2023), lebih mudah memanfaatkan celah karena akses ke penasihat pajak profesional. Sementara itu, wajib pajak menengah---seperti pedagang pasar atau freelancer---terhalang tarif tetap yang terasa mahal relatif terhadap pendapatan mereka. Penyebab ini bukan kebetulan, sunset policy dirancang untuk "boost" penerimaan saat defisit, tapi tanpa mekanisme inklusif, justru memperlemah fondasi kepatuhan sukarela. Seperti yang dikatakan ekonom Joseph Stiglitz dalam analisisnya tentang ketidakadilan pajak "Amnesti yang tidak adil bukan solusi, tapi racun bagi sistem fiskal."

Implikasi sosial dan fiskal dari kutukan ini sangat merusak, menciptakan lingkaran setan yang menggerus kepercayaan publik. Secara fiskal, meskipun amnesti 2016 menambah Rp 114 triliun ke kas negara (Kemenkeu 2017), efek jangka panjangnya negatif: penerimaan pajak rutin justru turun 5-7% pasca-program karena wajib pajak merasa "kenapa patuh jika nanti ada diskon lagi?" (studi DJP 2019). Ini memperlemah rasio pajak terhadap PDB kita yang stagnan di 10,5% (2023), jauh di bawah rata-rata ASEAN 14%, dan memaksa ketergantungan pada utang yang kini mencapai 39% PDB. Sosialnya lebih alarmis: erosi moral pajak membuat kepatuhan jangka panjang anjlok, dengan survei LSI 2022 menunjukkan 58% responden percaya sistem pajak "membela orang kaya", naik dari 45% sebelum amnesti 2016.

Persepsi keadilan sistem perpajakan pun tercoreng, memperburuk ketimpangan sosial. UMKM, yang menyumbang 60% PDB (Kemenkop UKM 2023), merasa terpinggirkan---mereka patuh tapi tidak dapat manfaat, sementara konglomerat "dimaafkan" atas pelanggaran masa lalu. Ini bukan hanya soal uang; ini tentang hilangnya legitimasi negara, di mana rakyat kecil semakin enggan bayar pajak, memperlebar tax gap hingga Rp 300 triliun per tahun (DJP 2023). Implikasi keseluruhan adalah stagnasi pembangunan inklusif: dana pajak yang seharusnya untuk infrastruktur dan sosial bocor ke ketidakadilan, meninggalkan masyarakat merasa dikhianati oleh kebijakan yang seharusnya melindungi mereka.

Dalam opini saya sebagai ekonom senior, amnesti pajak masih relevan sebagai alat darurat untuk membersihkan stok aset tersembunyi, tapi hanya jika dirancang ulang secara radikal agar tidak hanya dinikmati konglomerat. Kritik tajam saya: sunset policy saat ini seperti obat penghilang rasa sakit sementara, bukan penyembuhan akar masalah---ia menguntungkan yang kaya karena desainnya elitistis, tapi bisa menjadi inklusif jika difokuskan pada UMKM dan wajib pajak menengah. Bagaimana? Pertama, terapkan tarif progresif berdasarkan skala aset: 1% untuk UMKM di bawah Rp 1 miliar, naik hingga 10% untuk aset di atas Rp 100 miliar. Kedua, syaratkan komitmen sosial, seperti investasi di daerah tertinggal atau pelatihan pajak gratis bagi peserta kecil. Ketiga, perpanjang jendela waktu dengan kampanye edukasi, bukan tekanan waktu yang memihak yang punya akses cepat.

Opini konstruktif saya: pemerintah harus integrasikan amnesti dengan program permanen seperti voluntary disclosure berbasis digital, yang memudahkan UMKM ikut tanpa biaya tinggi. Ini solutif: bukan menolak amnesti, tapi mematahkan kutukannya dengan keadilan. Jika tidak, kita berisiko ulangi kesalahan 2008 dan 2016, di mana manfaat jangka pendek hilang oleh kerusakan jangka panjang.

Kesimpulannya, sudah saatnya pemerintah berhenti mengandalkan amnesti pajak sebagai solusi instan penerimaan negara, itu hanya memperpanjang kutukan sunset policy yang merugikan rakyat kecil. Alih-alih, bangun kepercayaan melalui sistem kepatuhan permanen dan progresif: perkuat edukasi pajak, digitalisasi inklusif, dan sanksi tegas bagi pelanggar besar. Dengan demikian, pajak akan menjadi alat pemberdayaan bersama, bukan hak istimewa segelintir. Indonesia layak punya sistem fiskal yang adil untuk semua. Mari pecahkan kutukan ini sekarang, sebelum kepercayaan publik benar-benar runtuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun