Mohon tunggu...
Margono Dwi Susilo
Margono Dwi Susilo Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Pendidikan : SD-SMP-SMA di Sukoharjo Jawa Tengah; STAN-Prodip Keuangan lulus tahun 1996; FHUI lulus tahun 2002; Magister Managemen dari STIMA-IMMI tahun 2005; Pekerjaan : Kementerian Keuangan DJKN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antropologi Dangdut: Refleksi Kritis Terhadap Revolusi Dangdut Tahap Kedua

29 Juli 2011   04:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:16 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

ANTROPOLOGI DANGDUT : REFLEKSI KRITIS TERHADAP REVOLUSI DANGDUT TAHAP KEDUA

Oleh : margono dwi susilo

Saya bukan maniak musik. Tanpa musik hidup saya tetap nyaman. Namun saya juga mengakui bahwa musik merupakan pencapaian tinggi peradaban manusia. Musik adalah makanan jiwa. Jika agama secara teoritis boleh dibagi tiga -- syariat, hakikat dan makrifat -- maka musik adalah salah satu “maqom makrifat” dalam peradaban manusia. Sehingga pemusik bolehlah anda sebut sebagai sufi, tentu dalam tanda kutip. Sebagaimana ulama syar’i sering berseteru dengan ulama sufi maka tentu ada ulama syar’i yang mengharamkan musik, karena musik dituduh mampu membawa jiwa manusia menjauhi syariat Tuhan. Musik bisa membuat orang malas mengaji dan beribadah. Orang yang menikmati musik jiwanya akan dibawa terbang entah kemana sehingga ia lupa waktu dan kewajiban. Dalam kehidupan nyata kita sering menjumpai pemusik yang lepas kendali akhirnya terjerumus ke lembah hitam, sebut saja pergaulan bebas, minuman keras bahkan narkoba.

Tentu bukan kapasitas saya membahas hal-hal yang berat dan fikihiah, seperti apakah memang musik itu haram? Ataukah sufisme itu sesuatu yang menyimpang dari ortodoksi islam? Bukan itu. Itu wewenang MUI. Saya akan membahas yang ringan-ringan saja, yaitu satu genre musik yang konon asli Indonesia, dangdut. Walaupun ia ramuan dari berbagai asal-usul – india, arab, melayu, barat – tetaplah pantas dangdut disebut asli Indonesia. Setidaknya pakar musik Indonesia seperti Remi Silado dan Bens Leo menyatakan demikian. Jika Anda pergi ke luar negeri dan ditanya, musik apa yang asli Indonesia? Saya akan mengusulkan agar Anda dicabut paspor RI-nya jika memaksakan diri menjawab dengan pop, rock, metal, jazz, reagge atau rap. Setidaknya anda harus menjawab gamelan, langgam, gambang kromong, degung, tarling dan tentunya dangdut. Yang terakhir ini penting anda sebut karena mewakili wajah musik modern tanah air. Walaupun anda muak dengan dangdut tetapi setidaknya anda harus mengakui itulah hasil karya asli bangsamu. Titik.

Terlebih dahulu saya harus menyampaikan salah satu takdir Tuhan yang tidak tertulis dalam kitab suci. Takdir tersebut rupanya khusus untuk orang Indonesia, yaitu : orang golongan menengah ke bawah yang kurang pergaulan dan berpendidikan rendah suka musik dangdut, golongan diluar itu tidak suka dangdut. Memang ada menteri atau pejabat yang doyan dangdut, tetapi itu anomali. Entah mengapa ada dikotomi kuping. Dikotomi ini begitu sulit ditembus dan justru lahir bersamaan dengan kelahiran dangdut itu sendiri. Dari dikotomi ini bisa ditarik kesimpulan tragis : jika dangdut ingin berjaya lagi maka haruslah masyarakat dimiskinkan dan dibodohkan. Tentu tidak mungkin. Dangdut merosot pamornya seiring dengan meningkatnya taraf hidup, pendidikan dan globalisasi. Saya tidak sedang menghina dangdut karena saya berdarah dangdut. Dengan demikian apakah dangdut akan semakin suram seiring dengan meningkatnya GNP dan jaringan internet? Mari kita bahas. Baiklah dimulai dari pengalaman saya menyukai dangdut.

Soneta lahir 13 Oktober 1970. Saat itu saya belum lahir. Album perdana yang sukses adalah Begadang. Soneta kebanjiran uang. Dengan itulah personel soneta naik haji dan Oma Irama beralih nama menjadi Rhoma Irama (Raden Haji Oma Irama). Tahun 1975 mereka mengklaim sebagai “the voice of islam”, dengan lagu bernafaskan islam dan dakwah. Reaksi bermunculan, pro dan kontra. MUI – yang selalu mengaku sebagai benteng islam di Indonesia – menuduh Soneta mempermainkan agama dan melagukan Al-Qur’an. Tetapi Rhoma dan Soneta jalan terus dengan berkilah : justru dangdut bisa membendung musik Barat (baca : rock) yang kurang sesuai dengan kepribadian bangsa. Rhoma mengaku berhasil mendudukkan dangdut dalam posisi tidak minder pada musik pop dan rock. Cercaan juga datang dari pemusik melayu dengan menuduh “hendak dibawa kemana musik melayu ini?” Tetapi tantangan dan makian paling kuat berasal dari pemusik rock. Dangdut dianggap sebagai musik tahi anjing. Dalam beberapa kasus tantangan itu bersifat fisik. Pada artikel Tempo Interaktif tanggal 2 Mei 2011, Rhoma Irama menceritakan bahwa di tahun 1970-an ia hampir mati karena sabotase strum listrik pada mic panggung. Akhirnya seorang pengacara, Japto Soerjosoemarno, menawarkan islah dalam bentuk “duel” bermain musik di panggung. Itu terjadi – kalau tidak salah – tahun 1978. Rhoma Irama tidak tertahankan sehingga ia dikukuhkan sebagai superstar seluruh Asia Tenggara. Itu pengakuan majalah Time. Secara akademis pengakuan juga muncul dari profesor Amerika, William Frederich, dengan artikelnya tahun 1983. Frederich dengan yakin menyimpulkan bahwa waktu itu hanya Rhoma Irama yang mampu mengumpulkan massa sebanyak rapat raksasa zaman Soekarno.

Bagi saya pertarungan aliran antara dangdut dan rock merupakan polemik kebudayaan ketiga dalam sejarah Indonesia. Polemik kebudayaan pertama terjadi tahun 1930-an antara kubu Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dan kubu Sanusi Pane. Polemik kedua tahun 1960-an antara Lekra versus Manikebu. Kubu STA mengatakan bahwa jika ingin maju kebudayaan Indonesia harus mengacu pada Barat, sedangkan kubu Sanusi Pane menginginkan ciri ketimuran yang kuat. Menurut pemahaman Lekra (underbow PKI) seni harus mengabdi pada politik (revolusi Indonesia), sedangkan kubu Manikebu mengusung idealisme “seni untuk seni.” Pada polemik kebudayaan ketiga – ini menurut saya lho – dangdut mewakili keindonesiaan sedangkan rock mewakili Barat. Pada akhirnya – setidaknya saat ini – Pop dan Rock memang mendominasi. Tetapi harus saya ingatkan bahwa tahun 1970-an s/d awal 1990, Rhoma Irama dan Soneta – hampir sendirian – meruntuhkan hegemoni Pop dan Rock. Bahkan band legendaris semacam koes plus membuat album berirama dangdut. Pada dekade 1990-an dangdut merupakan bisnis musik yang menggiurkan, ia berjaya di dapur rekaman, televisi dan panggung. Kecintaan saya terhadap dangdut bermula dari eksplorasi jati diri seperti diatas.

Tanpa mengurangi apresiasi saya terhadap prestasi Rhoma Irama, keberhasilan dangdut didukung oleh besarnya golongan menengah ke bawah yang berpendidikan rendah di kala itu. Dangdut dianggap mewakili suara wong cilik. Saya adalah wong cilik, walau kebetulan berpendidikan strata dua. Saya yakin banyak pecinta dangdut yang mulai jatuh cinta pada dangdut lewat tuah Rhoma Irama atau bangga dengan rasa pribumi yang dimiliki dangdut. Tetapi tetaplah bahwa secara genetis sulit bagi dangdut untuk dicintai oleh golongan menengah ke atas. Rhoma Irama sendiri di tahun 1996 – saat dangdut sedang berjaya – mengatakan bahwa memang benar dangdut mulai dinikmati oleh golongan atas, tetapi itu hanya sebagai variasi. Ibaratnya orang tidak mungkin melulu makan steak sehingga sekali-kali perlu mencicipi sayur asem. Dikotomi kuping itu tetap tidak tertembus. Rhoma Irama paling tahu tentang dikotomi itu. Dengan semakin membaiknya ekonomi Indonesia dan merebaknya globalisasi, penikmat musik semakin banyak memiliki alternatif, menyebabkan pasar dangdut terkikis.

Syair dangdut secara psikologis bercirikan ratapan-penderitaan-masokis. Perhatikan lirik lagu dangdut seperti, Termiskin Di Dunia (Hamdan ATT), Gubuk Derita (Meggy Z), Hidup Di Antara Dua Cinta (Tuti Wibowo), Pelaminan Kelabu (Mansyur S), Pasrah (Hamdan ATT), Gelandangan (Rhoma Irama), Derita (Rhoma Irama), Pengadilan Cinta (Imam S Arifin),Badai Biru (Itje Trisnawati), Anak Pengamen (Ramona Purba), Mabuk Judi (Cucu Cahyati), Gula-gula (Elvy Sukaesih), Rambut (Evie Tamala), Cincin Putih (Caca Handika) Lihatlah penyanyi dangdut laki-laki, kesan yang kita tangkap ia orang miskin, wajah jelek, kumuh tetapi dicintai oleh gadis cantik anak orang kaya. Si dangdut bukannya bersyukur tetapi menolak sang gadis dengan alasan cinta tidak harus memiliki. Kita menangkap bahwa si miskin ini sombong amat. Lalu perhatikan penyanyi perempuan, liriknya hampir sama, ia selalu dikhianati kekasihnya atau kekasihnya gemar berdusta, main perempuan, ringan tangan, mabuk dan judi. Nyaris tidak ada kebahagiaan pada lirik dangdut. Dulu lirik seperti ini sempat laris manis, tetapi adakah anak muda sekarang yang nyaman menikmati penderitaan tanpa solusi seperti itu. Anak muda tentu lebih nyaman menikmati lirik yang easy, lucu, charmy, kritik sosial, progresif dan elegan.

Saya menganggap dangdut itu seperti pantun, syair, macapat atau puisi lama lainnya. Ia selalu berisi “sampiran” dan “isi” berirama AB-AB atau AA-AA serta mempunyai birama yang genap. Oleh karenanya eksplorasi nada dan lirik pada dangdut terbatas. Inilah kesan kuno pada dangdut. Berbeda misalnya dengan pop atau rock, ia adalah puisi bebas, sehingga eksplorasi apapun bisa jauh lebih luas. Dangdut adalah Hamzah Fansuri sedangkan pop dan rock adalah Khairil Anwar. Dua hal ini – psikologis syair dan kebakuan irama – yang menyebabkan dangdut sulit diapresiasi oleh anak muda sekarang. Apalagi jika dinyanyikan oleh artis yang berpenampilan kampung. Sulit bagi saya untuk membayangkan tampilan seperti Hamdan ATT atau Caca Handika dielu-elukan oleh ABG masa kini. Padahal pasar musik sekarang ada pada ABG. Anak muda ini telah menjelma menjadi konsumen raksasa. Mereka adalah pasar yang cerdas dan tidak berpikir rumit. Ia punya uang berlebih karena orang tuanya cukup sukses dalam ekonomi. Rhoma Irama bersama Soneta mampu bertahan hingga sekarang karena tidak melulu menawarkan kesedihan dan kekunoan. Itulah hakekat dari keberhasilan revolusi dangdut tahap pertama di tahun 1970-an.

Revolusi dangdut tahap kedua bagi saya jauh lebih rumit, dan itu tidak cukup jika hanya mengandalkan Rhoma Irama dan Ridho (Sonet-2 Band). Era keemasan bang Haji sudah lewat. Lagi pula saat ini tidak ada “musuh” nyata. Revolusi tahap kedua melulu merupakan persaingan pasar. Sampai saat ini sepanjang pemahaman saya tujuan revolusi dangdut tahap kedua adalah untuk menggaet pasar kawula muda. Format orkes dipandang tidak lagi menarik, oleh karena itu Sonet-2 diberi format band. Tentu kawula muda tidak akan menggubris perubahan format itu. Orkes, Band ataupun Lenong, tidak penting. Yang menentukan apakah ia trendi dan enak dinikmati. Sesungguhnya dangdut sangat bisa dinikmati. Tetapi kesan kampung sangat kuat. Itulah “cacat” genetik dangdut yang membuat kawula muda alergi. Akan blunder jika dangdut mati-matian menggaet kawula muda, apalagi ABG perempuan. Sangat sulit. Kawula muda mendekati dangdut hanya saat konser, tetapi belum sampai tahap membeli kaset, CD ataupun ring tone. Sonet-2 Band sukses karena masih ditopang Rhoma Irama.

Oleh karenanya peluru revolusi dangdut tahap kedua harus ditujukan pada tiga sasaran : pertama manusia dewasa yang secara tradisional menyukai dangdut, wong cilik, artinya orang yang kadung jatuh cinta pada kreatifitas Rhoma Irama dan kehebatan cengkok vokal Rita Sugiarto, Elvy Sukaesih atau gaya elegan Evie Tamala. Ini berarti merawat “konstituen lama.” Ini tidak mudah karena jumlah konstituen lama ini jauh menyusut. Tetapi jika mereka dirayu dengan lagu bagus besar kemungkinan balik. Peluru kedua barulah diarahkan kepada kaum profesional, seperti guru, tentara, PNS dan seterusnya. Mereka ini kaum menengah dengan penghasilan cukup. Mereka tidak terlalu terpengaruh dengan gengsi dalam bermusik. Lupakan kawula muda, apalagi ABG perempuan. Mereka ini baru akan melirik dangdut saat usia telah menginjak 30-an atau 40-an atau 50-an, jadi bersabar saja. Peluru ketiga diarahkan ke pangsa pasar luar negeri. Sekecil apapun pasar luar negeri – sebut saja Malaysia, Brunei, Jepang -- tetap perlu digarap. Tujuannya untuk mengangkat citra dimata kawula muda dalam negeri.

Setelah target ditentukan maka revolusi ditujukan pada musik dangdut itu sendiri. Disinilah tempat “bermain” seniman dangdut. Walau format band diterapkan jangan sampai format orkes ditinggalkan. Saya tetap yakin bahwa jati diri dangdut ada pada format orkes. Format band hanya alternatif untuk menggaet pasar yang lebih luas. Band mempunyai style dan maqom sendiri.

Apapun format yang ditetapkan hendaknya dangdut tetap bertumpu pada seruling yang mendayu, gendang yang membius, kekuatan vokal, dan cengkok yang berkarakter. Syair boleh sedih atau sedikit nakal tetapi tetap elegan. Kurangi syair murahan dan dibuat-buat. Satu hal yang penting otak musisi dangdut harus banyak diisi dengan ilmu, dalam bidang apapun, galilah hal baru, karena zaman telah berubah. Inspirasi tema tidak lagi diperoleh dari pasar loak, terminal, pelacuran, pertengkaran rumah tangga, orang mabuk, tetapi dari buku teknologi, filsafat, budaya, sastra atau apapun. Selamat berjuang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun