Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Menjadi Benar atau Salah Bisa Berujung pada Kejahatan? (Bagian III)

27 Oktober 2020   12:12 Diperbarui: 26 Oktober 2021   15:39 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.theguardian.com

Jadi, ketika mempertimbangkan pendidikan moral, baik pada level individu, hubungan inter-personal, atau masyarakat, lebih penting untuk mendidik perasaan bersalah sebagai barometer emosi moral daripada perasaan malu (Bagian II).

Marah dan jijik
Marah dan jijik juga tergolong emosi negatif, namun biasanya muncul karena adanya suatu faktor di luar diri. Marah bisa terjadi ketika seseorang tersinggung atas perilaku orang lain, merasa dilanggar/dirugikan, frustasi atau adanya tindakan orang lain yang melanggar standar moral yang dianutnya. 

Sedangkan perasaan jijik terkait dengan reaksi atas penolakan terhadap sesuatu yang berpotensi menular atau sesuatu yang dianggap ofensif, tidak menyenangkan, serta pelanggaran etika keilahian/kesucian (mengingatkan pada sifat hewan yang dianggap lebih rendah, seperti buang air besar atau barang yang kotor/jorok).

Marah dan jijik bisa menyebabkan orang lebih mungkin terlibat dalam perilaku imoral. Marah tentu saja lebih bisa dipahami dipahami sebagai penyebab munculnya perilaku agresif, menyerang dan merusak. Kemarahan yang tidak dikelola akan menyebabkan orang dapat melakukan pelanggaran atau perilaku buruk. 

Namun, penelitian juga menemukan bahwa emosi jijik juga bisa menjadi akar emosi yang memunculkan kejahatan. Jijik ditemukan sebagai awal emosi munculnya pengabaian hak orang lain dan merendahkan martabat manusia lain, seperti rasisme dan pelecehan/kekerasan (Vartanian, Trewartha, & Vanman, 2016).

Jijik juga dapat mengendalikan perilaku moral seseorang. Ketika seseorang mengalami jijik, emosi, maka menandakan bahwa perilaku, objek, atau orang tertentu harus dihindari untuk menjaga kemurnian mereka (Olatunji, David, & Ciesielski, 2012).

Misalkan: ketika seseorang anak diajari bahwa orang miskin adalah kotor dan berbicara dengan orang miskin bisa merendahkan harkat keluarganya, maka si anak akan menjauhi interaksi dengan orang miskin. Dan hal ini dapat dilakukan secara ekstrem menjauhi karena jijik.

Penelitian lain menunjukkan bahwa tingkat kepekaan jijik akan mempengaruhi penilaian moral. Semakin tinggi kepekaan jijik seseorang, semakin besar kecenderungan untuk membuat penilaian moral yang lebih keras (David & Olatunji, 2011). Misalkan: seorang hakim yang memiliki kepekaan jijik atas masalah pemerkosaan, karena merasa kasus pemerkosaan adalah pelanggaran yang sangat menyalahi aturan moral kesucian, maka ia akan lebih mungkin memberikan hukuman berat pada terdakwanya. 

Di dalam kasus kriminal, ditemukan bahwa pelaku kejahatan akan menjadi lebih keji pada korbannya, ketika ia melihat korbannya lebih rendah martabatnya. Pelaku pembunuhan akan lebih mungkin menyiksa dan menghancurkan tubuh korbannya jika ia melihat korbannya adalah hewan, mahluk yang lebih rendah dari dirinya.

Relevansi:

Pengelolaan moralitas bukan hanya mengelola rasa marah, namun kita juga perlu lebih awas dan mampu mengelola rasa jijik terhadap manusia lain. 

Jijik bisa berujung pada kejahatan

Dalam proses pendidikan karakter anak, perasan jijik pada manusia lain perlu dibongkar secara kritis dan dihindari diajarkan karena dapat berkembang menjadi diskriminasi, pelecehan bahkan kekerasan yang disertai kekejian.


Walaupun kita tidak mengajarkan kemarahan dan agresi, namun bisa jadi, secara tidak sadar kita mengajarkan jijik atau menganggap orang lain lebih rendah karena perbedaan nilai-nilai moral atau agama. Hal inilah yang diamati dan dipelajari oleh anak-anak kita. Inilah yang bisa berkembang menjadi bibit kebencian, perilaku imoral seperti merendahkan martabat orang lain dan sikap kasar diskriminatif.

Dalam proses koreksi pelaku kejahatan, perlu dipahami apakah akar emosi moral dari perilaku kriminalitasnya. Mungkinkah kejahatan yang dilakukannya berasal dari emosi yang salah seperti marah dan jijik. Dengan mengkoreksi emosi moral yang salah, diharapkan dapat mengarahkan pada belajar perilaku moral adaptif.

Bersambung ke tulisan Bagian IV

"Stop menyebarkan kebencian berbalut moralitas semu di sekolah"

***

Referensi:

  1. Baron-Cohen, S. (2011). The science of evil. Basic books: New York.
  2. Damasio, A. Descartes’ error. Putnam, New York, 1994.

  3. David, B.O., & Olatunji, B.O. (2011). The effect of disgust conditioning and disgust sensitivity on appraisals of moral transgressions. Personality and Individual Differences. 50, 1142-1146.
  4. Eisenberg, N., & Morris, A. S. (2001). The origins and social significance of empathy-related responding. A review of empathy and moral development: implications for caring and justice by ML Hoffman. Social Justice Research, 14, 95-120.
  5. Haidt, J. (2008). The Moral Roots of Liberals and Conservatives TED Talk.
  6. Haidt, J., & Joseph, C. (2004). Intuitive ethics: How innately prepared intuitions generate culturally variable virtues. Daedalus, 133, 55-66.

  7. Olatunji, B.O., David, B., & Ciesielski, B.G. (2012). Who am I to judge? Self-disgust predicts less punishment of severe transgressions. Emotion, 12, 169-73.
  8. Sandel, M.J. (2010). Justice What's the Right Thing. Farrar, Straus and Giroux: New York.
  9. Saxe, R., & Kanwisher, N. (2003). People thinking about thinking people: The role of the temporo-parietal junction in “theory of mind.” Neuroimage, 19, 1835-1842.
  10. Stanger, N., Kavussanu, M., McIntyre, D., & Ring, C. (2016). Empathy inhibits aggression in competition: The role of provocation, emotion, and gender. Journal of sport and exercise psychology, 38, 4-14.
  11. Tangney, J.P., Stuewig, J., & Mashek, D.J. (2007). Moral emotions and moral behavior. Annual Review of Psychology, 58, 345-372.
  12. Tracy, J.L., & Robins, R.W. (2007). The self in conscious emotion. In essica L. Tracy, Richard W. Robins, June Price Tangney (Eds.) in The self-conscious emotions : theory and research. The Guilford Press: New York.
  13. Vartanian, L.R. Trewartha, T., & Vanman, E.J. (2016). Disgust predicts prejudice and discrimination toward individuals with obesity. Journal of Applied Social Psychology, 46, 369-375.

Oleh: Margaretha
Pengajar Psikologi Forensik
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

***

Tulisan serupa pernah dipublikasi di website www.psikologiforensik.com yang dikelola pribadi oleh penulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun