Mohon tunggu...
margareta felisha
margareta felisha Mohon Tunggu... Freelancer - .

.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kecerobohan yang Membekas

21 November 2019   05:39 Diperbarui: 21 November 2019   05:40 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Margareta Felisha Raharjo

XI IIS 2

SMA CK

Peristiwa tersebut tak akan pernah bisa kuhapus dari memoriku. Kau mungkin penasaran, apa itu?
Semuanya bermula dari sebuah akhir pekan biasa, sebuah rutinitas di keluarga kami. Saat itu aku sedang menjalani tahun terakhirku di SD. Setiap sabtu minggu ketiga, kami pergi mengunjungi rumah peninggalan orang tua ibuku. Untuk apa? Karena tidak ada yang mendiami rumah tersebut, kami datang untuk bersih-bersih, sembari menghabiskan waktu bersama sebagai sebuah keluarga. Kami datang pada pagi hari, dan akan pulang ketika matahari terbenam di keesokan harinya.

Rumahnya tidak besar, namun dapat dirasakan kehangatan yang pernah ada di rumah itu. Aku dan adikku mendapat tugas membersihkan lantai dua, kakakku bertugas membersihkan kamar mandi yang ada, sedangkan orang tuaku membersihkan ruang utama dan dapur.
Berkat kerja sama kami yang baik, dalam waktu satu jam kamar tidur utama selesai kita bersihkan. Saat itu sudah siang, maka Ibu menyarankan agar kami makan siang terlebih dahulu sebelum lanjut bekerja.

Aku tidak begitu ingat kakakku sedang berada dimana, yang pasti ia berhasil menghindari tugas bersih-bersihnya pekan itu. Setelah makan siang, kami semua kembali membersihkan rumah tersebut berdasarkan pembagian tugas.

Tidak terasa berapa lama kami bekerja, pada pukul 3 sore aku dan adikku sudah menyelesaikan tugas kami. Kamar tidur yang ada pendingin udaranya hanya kamar tidur utama, jadi saya dan adikku bermain-main disitu sambil menunggu orang tua kami selesai.Tak lama kemudian, ibu kami datang untuk mengobrol dengan kami dan istirahat sejenak.

"Papa dimana ?" Kutanya.
"Papa masih bersihin halaman belakang, dek" Jawab ibuku.
"Oh," Kujawab kembali.
"Coba kamu bantuin bersih-bersih, supaya lebih cepat selesainya," Kata ibu, "Supaya nanti kita bisa istirahat bareng-bareng."
Oh ya, ruang utama rumah itu tidak dikelilingi tembok, namun dari lantai hingga langit-langit lantai satu terpasang kaca jendela. Jika jendela-jendela tersebut sedang dibuka, kita bisa mengakses halaman belakang tanpa menggunakan pintu (yang terbuat dari kaca juga).
Saat aku turun ke lantai satu, aku melihat Ayah sedang membersihkan kaca-kaca tersebut. Karena saking bersihnya, jika dilihat dari jauh, kaca-kaca tersebut seperti menghilang dari pandanganku.
"Pa, mau dibantuin gak?" Kuucapkan sambil menghampirinya.
"Gak usah, kamu temenin mama saja ya," Papa menjawab.
"Oke deh," Sahutku ceria, terbebas dari tugas membersihkan tambahan.
Aku naik lagi ke lantai dua, dan menghampiri Ibu, untuk menyampaikan pesan Ayah. Kemudian, aku melanjutkan permainan dengan adikku.
Dulu, dan sampai sekarang, aku sering sekali menjahili adikku. Karena permainannya mulai membosankan, jadi untuk menghibur diri sendiri, aku berbuat jahil kepada adikku. Ya tentunya, ia marah dan kesal denganku, walau hanya sebentar.
Senda-gurau kami berubah menjadi kejar-kejaran, dan tidak lama kemudian, kegiatan kami bukan lagi duduk bermain dengan tenang, namun kami berlari-larian di seluruh rumah.
Ia tidak terlalu tahan dengan dingin, dan karena kita tadinya berada di ruangan ber-AC selama beberapa jam, ia sekarang sedang bersin-bersin. Walau begitu, ia tidak tampak terganggu sama sekali, bahkan ia kelihatan makin bahagia.
Ia mengejarku sambil mengancam bercanda, "Hati-hati ya kak, aku lagi bersin-bersin, nih!" Ia bilang dengan ceria. Kita manusia biasa, pastinya tidak senang jika ada orang bersin didekat kita, apalagi jika sampai terkena tubuh kita. Aku juga manusia biasa, jadi aku terus berlari. Aku menuruni tangga, dan melihat kesempatan untuk kabur dari adikku.
Tepat dihadapanku, kulihat kaca-kaca jendela yang sedang terbuka, dan ayahku yang sedang mencuci tangannya dengan selang air di halaman belakang. "Aku akan memakai sendal jepitku, dan keluar lewat kaca jendela yang ada!"Kupikir, masih sembari tertawa-tawa riang.Tanpa sepengetahuanku, ternyata 'kaca jendela' yang ada di pojok-pojok ruangan tidak bisa dibuka. Tapi, menurut pandanganku(yang agak rabun jauh), semua jendela sedang terbuka lebar, sebuah tanda bahwa itulah jalan yang bisa kuambil untuk melarikan diri dari keisengan adikku.
Aku memakai sendal jepitku dengan terburu-buru, dan segera berlari kearah 'kaca jendela' yang berada dipojok ruangan. Tidak pernah terlintas sekalipun dipikiranku bahwa aku akan menabrak kaca, pada saat itu juga.
Kamu mungkin mengira bahwa aku hanya akan menabrak kaca, mengeluh kesakitan, dan cerita selesai. Tidak, aku bukan menabrak kaca, melainkan aku menerobos permukaan kaca tersebut.
Momen itu rasanya seperti mimpi. Kudengar suara pecah beling yang sangat keras, dan dalam sekejap aku sedang duduk di tanah pekarangan belakang, dengan lutut yang sangat mengerikan untuk dilihat.
Terpancur darah dari luka itu, dan kulihat Ayah berlari menujuku. Untuk tidak membuatnya khawatir, kupikir, aku berusaha untuk berdiri. Dengan sangat bodohnya, aku menaruh tanganku disamping tubuhku untuk bisa bangkit berdiri. Ayah langsung panik, dan memanggil Ibu untuk segera membawaku ke rumah sakit terdekat.
Dalam perjalanan, aku tidak menangis, aku juga tidak sedih sama sekali. Yang ada dalam pikiranku hanyalah bagaimana bisa aku menerjang kaca tersebut, sampai-sampai tidak merasakan serpihan-serpihan kaca yang tertanam di telapak tanganku.
Sampai dirumah sakit, lukaku dibersihkan, dan lututku dijahit. 20 adalah jumlah jahitan yang dibuat dilututku. Ketika dijahit, aku baru sadar dengan rasa sakit yang ada akibat luka tersebut. Aku menangis tanpa terkendali. Setelah selesai, aku juga baru merasakan serpihan kaca yang ada di telapak tanganku.
Kami berencana untuk menginap di rumah tersebut, namun karena kecerobohanku, kami akhirnya pulang kerumah. Karena kecerobohanku pula, kakiku harus tetap lurus sampai sembuh.
Jika kamu masih ingat, aku kelas 6 SD pada waktu itu. Oleh sebab itu, aku bisa saja melewati Try Out yang sangat penting. Namun untungnya, sekolah berada sangat dekat dengan rumahku, jadi aku bisa mengerjakan Try Out dirumah.
Sejak saat itu, aku menjadi takut untuk datang kerumah itu lagi. Ayahku sampai memasang stiker semi-transparan disetiap jendela kaca di rumah itu, agar tidak ada kejadian sama yang terulang kembali. Waktu yang seharusnya menyenangkan, berubah menjadi sebuah pengalaman buruk yang tak pernah akan kulupakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun