Mohon tunggu...
mardety mardinsyah
mardety mardinsyah Mohon Tunggu... pensiunan dosen

Hobi menulis, menggambar dan sedang belajar literasi digital

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kebebasan Sebagai Makna Politik : Pandangan Hannah Arendt

26 September 2025   14:44 Diperbarui: 26 September 2025   14:44 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika mendengar kata "politik", banyak orang langsung membayangkan perebutan kursi kekuasaan, intrik kepentingan, atau strategi untuk menguasai yang lain. Namun bagi Hannah Arendt, filsuf politik abad ke-20 yang banyak menulis tentang totalitarianisme dan makna kebebasan, politik bukan sekadar permainan kuasa. Politik, dalam pandangannya, adalah sesuatu yang jauh lebih luhur: sebuah ruang di mana manusia dapat menampakkan diri, berbicara, dan bertindak bersama, sehingga kebebasan benar-benar hadir dalam kehidupan.

Arendt percaya bahwa politik lahir dari pluralitas manusia. Kita berbeda-beda---dalam pandangan, pengalaman, maupun latar belakang---namun justru perbedaan itulah yang membuat politik menjadi mungkin. Jika semua orang sama, tidak akan ada kebutuhan untuk berdialog atau mengambil keputusan bersama. Politik, dengan demikian, adalah seni mengelola kebersamaan dalam perbedaan. Untuk menjelaskan hal ini, Arendt membedakan tiga aktivitas dasar manusia dalam bukunya The Human Condition: labor (kerja biologis), work (pekerjaan menghasilkan benda), dan action (tindakan politik). Labor menjaga hidup tetap berlangsung; work meninggalkan hasil yang lebih tahan lama, seperti rumah atau karya seni; sedangkan action adalah bentuk aktivitas tertinggi, di mana manusia berbicara dan bertindak di hadapan sesamanya. Hanya melalui tindakan inilah manusia benar-benar hadir di dunia sebagai makhluk bebas.

 Bagi Arendt, politik harus dipahami sebagai ruang publik yang berbeda dari ruang privat. Di ruang privat, manusia berurusan dengan kebutuhan hidup sehari-hari---makan, bekerja, membesarkan keluarga. Namun di ruang publik, manusia tampil sebagai warga, bukan sekadar individu. Di sinilah mereka bisa dikenang karena kata dan tindakannya, meninggalkan jejak dalam sejarah.

Pemikiran Arendt lahir dari pengalaman getir menyaksikan kekejaman totalitarianisme. Ia melihat bagaimana rezim Nazi di Jerman dan Stalinisme di Uni Soviet menghancurkan kebebasan, menghapus perbedaan, dan menelan manusia ke dalam sistem yang seragam. Bagi Arendt, totalitarianisme bukan sekadar kekuasaan absolut, melainkan penghapusan politik itu sendiri---karena politik sejati hanya bisa ada ketika ada kebebasan dan pluralitas. 

Dalam kerangka inilah, Arendt melihat politik sebagai upaya untuk menjaga kebebasan dan mengingatkan manusia akan makna hidup bersama. Politik bukan sekadar urusan teknis, melainkan panggung di mana manusia mengekspresikan dirinya, diakui oleh yang lain, dan meninggalkan jejak yang tak lekang oleh waktu. Arendt memberi kita pelajaran berharga: politik bukanlah sekadar soal siapa yang berkuasa, tetapi soal bagaimana kita hidup bersama tanpa meniadakan perbedaan. Ia mengajak kita memandang politik bukan dengan sinis, melainkan dengan harapan---sebagai ruang kebebasan, ruang dialog, dan ruang untuk meneguhkan

Arendt, filsuf politik abad ke-20 yang banyak menulis tentang totalitarianisme dan makna kebebasan, politik bukan sekadar permainan kuasa. Politik, dalam pandangannya, adalah sesuatu yang jauh lebih luhur: sebuah ruang di mana manusia dapat menampakkan diri, berbicara, dan bertindak bersama, sehingga kebebasan benar-benar hadir dalam kehidupan. Arendt percaya bahwa politik lahir dari pluralitas manusia. Kita berbeda-beda---dalam pandangan, pengalaman, maupun latar belakang---namun justru perbedaan itulah yang membuat politik menjadi mungkin. Jika semua orang sama, tidak akan ada kebutuhan untuk berdialog atau mengambil keputusan bersama. Politik, dengan demikian, adalah seni mengelola kebersamaan dalam perbedaan. 

Untuk menjelaskan hal ini, Arendt membedakan tiga aktivitas dasar manusia dalam bukunya The Human Condition: labor (kerja biologis), work (pekerjaan menghasilkan benda), dan action (tindakan politik). Labor menjaga hidup tetap berlangsung; work meninggalkan hasil yang lebih tahan lama, seperti rumah atau karya seni; sedangkan action adalah bentuk aktivitas tertinggi, di mana manusia berbicara dan bertindak di hadapan sesamanya. Hanya melalui tindakan inilah manusia benar-benar hadir di dunia sebagai makhluk bebas. Bagi Arendt, politik harus dipahami sebagai ruang publik yang berbeda dari ruang privat. Di ruang privat, manusia berurusan dengan kebutuhan hidup sehari-hari---makan, bekerja, membesarkan keluarga. Namun di ruang publik, manusia tampil sebagai warga, bukan sekadar individu. Di sinilah mereka bisa dikenang karena kata dan tindakannya, meninggalkan jejak dalam sejarah.

 Bagi Arendt, totalitarianisme bukan sekadar kekuasaan absolut, melainkan penghapusan politik itu sendiri---karena politik sejati hanya bisa ada ketika ada kebebasan dan pluralitas. Menariknya, Arendt juga membedakan antara kekuasaan (power) dan kekerasan (violence). Kekuasaan, katanya, lahir dari kebersamaan dan kesepakatan manusia. Ia hadir ketika orang berkumpul dan bertindak bersama. Sebaliknya, kekerasan sering kali muncul ketika kekuasaan sudah melemah; ia adalah tanda ketiadaan legitimasi. Dengan kata lain, politik yang sehat tidak membutuhkan kekerasan, sebab kekuasaan sejati tumbuh dari persetujuan kolektif.

Pandangan ini terasa sangat relevan dengan kondisi politik kontemporer. Kita bisa melihat, misalnya, bagaimana gelombang populisme di berbagai negara berusaha menyeragamkan suara rakyat dengan narasi tunggal, mengorbankan keberagaman pandangan. Dalam kasus seperti Brexit di Inggris atau retorika nasionalis-ekstrem di Amerika Serikat, pluralitas sering dianggap ancaman, padahal justru di situlah politik memperoleh maknanya. Di Indonesia sendiri, kita menyaksikan bagaimana media sosial menjadi ruang publik baru. Di satu sisi, ia membuka ruang bagi siapa saja untuk bersuara, sejalan dengan gagasan Arendt tentang tindakan dan kebebasan. Namun di sisi lain, media sosial juga memunculkan polarisasi tajam dan "ruang gema" (echo chamber) yang justru mempersempit pluralitas. Politik berubah menjadi pertarungan identitas yang kerap meniadakan ruang dialog.

 Arendt mengingatkan bahwa jika perbedaan disangkal, politik akan kehilangan jiwanya. Ketika ruang publik dipenuhi ujaran kebencian, hoaks, atau kekerasan simbolik, yang terjadi bukanlah politik dalam arti sejati, melainkan pelemahan kebebasan itu sendiri. Sebaliknya, ketika warga bisa berdialog meski berbeda, ketika mereka bisa bertindak bersama tanpa meniadakan perbedaan, di situlah politik hadir sebagai seni hidup bersama. Dalam kerangka inilah, Arendt melihat politik sebagai upaya untuk menjaga kebebasan dan mengingatkan manusia akan makna hidup bersama.

Politik bukan sekadar urusan teknis, melainkan panggung di mana manusia mengekspresikan dirinya, diakui oleh yang lain, dan meninggalkan jejak yang tak lekang oleh waktu. Arendt memberi kita pelajaran berharga: politik bukanlah sekadar soal siapa yang berkuasa, tetapi soal bagaimana kita hidup bersama tanpa meniadakan perbedaan. Di tengah derasnya arus populisme, polarisasi, dan godaan otoritarianisme, gagasannya terasa semakin mendesak. Politik, kata Arendt, adalah ruang kebebasan---dan tugas kitalah untuk menjaganya agar tetap hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun