Indonesia saat ini bangga menjadi pusat hilirisasi nikel dunia, terutama untuk menyuplai kebutuhan baterai kendaraan listrik. Sayang, di balik kebijakan itu, tersimpan cerita gelap dari Weda Bay, Halmahera Tengah, tempat konsesi tambang nikel membentang hampir 150 ribu hektare.Â
Pemerintah boleh saja menyebutnya sebagai "lompatan industri," tetapi bagi sebagian warga, ini adalah awal dari kehilangan air bersih, ikan, dan bahkan kesehatan.
Artikel ini bukan untuk menolak pembangunan, tetapi untuk mengajak pembaca berpikir ulang, Apakah industrialisasi harus mengorbankan alam dan manusia?
Nikel di Tanah Leluhur: Konsesi Raksasa di Ujung Timur
PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), anak usaha dari raksasa tambang Eramet (Perancis) dan Tsingshan (Tiongkok), kini mengoperasikan kawasan industri seluas 5.000 hektare, dengan izin tambang membentang lebih dari 143 ribu hektare, setara hampir 60% luas Kabupaten Halmahera Tengah.
Perusahaan mengklaim menjalankan "industri hijau", dengan reforestasi ribuan hektare dan penanaman spesies endemik. Namun, data di lapangan bicara lain. Sungai Akedoma mengering, sumur-sumur warga kehilangan debit, dan nelayan kehilangan kepercayaan terhadap hasil tangkapan mereka.
Krisis Air di Negeri Tambang
Percaya atau tidak, penduduk Desa Lelilef, pusat aktivitas tambang IWIP, telah bergantung pada air galon dan distribusi tangki. Sungai-sungai yang dulunya jernih kini keruh, penuh sedimen dan limbah tailing.
Laporan Forest Watch Indonesia (FWI), deforestasi DAS Kobe dan wilayah penyangga menghilangkan ekosistem penyaring alami air. Pada musim hujan, banjir dan longsor menjadi ancaman baru.
"Dulu kami bisa minum langsung dari kali, sekarang bahkan untuk mandi pun takut gatal-gatal," ungkap seorang warga yang diwawancarai oleh Majalah Tempo (Edisi Februari 2025).
Racun di Laut dan Darah: Temuan Ilmiah yang Mencemaskan