Desa Tropodo di Sidoarjo, Jawa Timur, adalah salah satu sentra produksi tahu terbesar di Indonesia. Tiap hari, industri rumahan di desa tersebut menghasilkan berton-ton tahu yang dipasarkan ke berbagai kota. Tapi, siapa sangka, proses pembakaran tahu di desa ini mengandalkan bahan bakar yang tidak biasa yaitu limbah plastik impor.
Betul biayanya murah, mudah terbakar, dan tersedia dalam jumlah besar, sehingga limbah plastik dijadikan solusi bahan bakar alternatif oleh banyak pelaku industri tahu di Tropodo. Akan tetapi, solusi ini dibayar dengan harga yang jauh lebih mahal yakni pencemaran lingkungan, krisis kesehatan masyarakat, dan ancaman masa depan generasi mendatang.
Dioxin dalam Telur, Mikroplastik dalam Tahu
Penelitian yang dilakukan oleh ECOTON (Ecological Observation and Wetlands Conservation) bersama International Pollutants Elimination Network (IPEN) mengungkapkan fakta mengejutkan. Telur ayam kampung yang diternakkan di sekitar pabrik tahu Tropodo mengandung dioxin hingga 200 picogram TEQ per gram lemak. Angka yang 80 kali lipat lebih tinggi dari batas aman menurut WHO.
Dioxin sendiri merupakan senyawa kimia beracun yang terbentuk dari pembakaran bahan-bahan yang mengandung klorin, seperti plastik. Dioxin bersifat karsinogenik (pemicu kanker), dapat mengganggu sistem imun dan hormon, serta menyebabkan cacat lahir bila terpapar dalam jangka panjang.
Lebih dari itu, laporan investigasi oleh The Guardian (2025) menunjukkan bahwa tahu yang dihasilkan dari pembakaran limbah plastik mengandung mikroplastik. Partikel-partikel plastik ini sangat kecil (kurang dari 5 mm) dan bisa masuk ke tubuh melalui makanan, air minum, atau udara yang terhirup.
Mikroplastik tidak hanya menjadi kontaminan fisik, tetapi juga dapat membawa bahan kimia berbahaya seperti logam berat dan zat aditif beracun. Ketika masuk ke tubuh manusia, mikroplastik berpotensi menyebabkan gangguan sistem pencernaan, metabolisme, hingga sistem reproduksi.
Temuan ini menunjukkan bahwa tidak hanya udara di sekitar pabrik tahu yang tercemar, tetapi juga hasil produknya. Warga yang mengonsumsi telur dan tahu dari daerah tersebut berisiko tinggi terpapar zat berbahaya yang dampaknya bisa berlangsung lama.
Jejak Kolonialisme Sampah: Mengapa Plastik Impor Bisa Masuk?